Sejumlah kerja sama Pemerintah Indonesia dan Australia berupaya mendorong perempuan kuliah dan bekerja di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM). Salah satunya Koneksi, kemitraan RI-Australia 2023-2027 senilai AUD 50 juta (Rp 550 miliar).
Koneksi adalah program RI-Australia sektor pengetahuan inovasi yang mendukung penggunaan solusi berbasis pengetahuan. Hasil inovasi diharapkan memicu kebijakan dan teknologi inklusif dan berkelanjutan.
Wakil Dubes Australia untuk Indonesia Steve Scott mengatakan Koneksi mendorong kolaborasi riset institusi Australia dan Indonesia untuk merespons masalah yang sama-sama dihadapi kedua negara, seperti perubahan iklim, transformasi digital, hingga kerja ekonomi digital lewat pemberian hibah riset STEM.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Untuk menentukan penerima hibah, kami ingin memastikan sudah memilih universitas dari seluruh penjuru Indonesia, tidak hanya kota-kota besar di Jawa. Kami juga memastikan ada porsi dukungan yang diberikan bagi peneliti perempuan, dan tim riset dengan komponen peneliti perempuan yang kuat," jelasnya di rangkaian perayaan International Day of Women in STEM di Koneksi Connect#2, Breaking Barriers: Women Leadership in Science and Research di Kedutaan Besar Australia di Jakarta, Selasa (20/2/2024).
Kerja Sama RI-Australia Dukung Perempuan di STEM
Scott menjelaskan, Australia menyediakan sekitar Rp 3 triliun per tahun dalam kemitraan pembangunan dengan Indonesia. Di jenjang pendidikan dasar, program kemitraan Inovasi bekerja sama dengan Kemendikbudristek agar siswa punya dasar yang kuat dalam memulai pendidikan.
Sementara itu program kemitraan Inklusi bekerja sama dengan pemerintah dan warga sipil untuk mendukung pemberdayaan perempuan dan inklusi disabilitas. Adapun program Koneksi dimulai pada 2023 dengan pemberian hibah riset STEM kolaborasi institusi RI dan Australia.
Pendaftaran Beasiswa Australia Awards in Indonesia 2025 juga tengah dibuka untuk pendidikan singkat maupun pendidikan S2-S3 di Australia. Beasiswa tanpa batas usia ini terbuka untuk umum, khususnya kelompok target kesetaraan dan perempuan di STEM.
"Perihal partisipasi perempuan, yang kemudian mengenyam pendidikan tinggi, kita tahu secara akademis berkinerja sama baiknya dengan laki-laki. Seperti di Australia, tantangannya adalah memastikan perempuan tidak merasa harus mengikuti norma gender saat memilih bidang studi apa yang harus dipilih," ucapnya.
"Boleh saja memilih keperawatan, ilmu sosial, hukum, dan lainnya, tetapi mereka jangan sampai merasa takut untuk ingin mempelajari STEM. Saya rasa ini bagian dari proses saat ini, ketika perempuan punya role model perempuan yang sukses di bidang STEM, mereka bisa merasa percaya diri saat mengetahui mereka juga bisa melakukannya," tambah Scott.
(twu/nwk)