Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) meluruskan persepsi yang muncul perihal tugas akhir mahasiswa berupa skripsi. Skripsi tidak dihapuskan, tapi bukan satu-satunya bentuk tugas akhir.
Plt Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen Diktiristek), Tjitjik Srie Tjahjandarie mengatakan sekarang ini banyak mispersepsi seakan-akan skripsi dihapuskan, padahal tidak.
"Sekarang ini banyak terjadi mispersepsi seolah-olah skripsi itu dihapus, padahal tidak," kata Tjitjik dalam acara Sosialisasi Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 yang digelar secara daring (6/9/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tjitjik menegaskan, tugas akhir berupa skripsi tidak dihapus. Melainkan, skripsi sekarang bukan sebagai satu-satunya bentuk tugas akhir.
Bentuk tugas akhir kini dapat berwujud prototipe, proyek, ataupun lainnya. Perguruan tinggi diberikan keleluasaan dalam menetapkan sesuai dengan kompetensi lulusan yang akan dihasilkan.
"Misalnya untuk kemudian prodi misalnya MIPA kimia, mungkin skripsi masih satu bentuk tugas akhir yang fit untuk prodi tersebut, tapi untuk promosi bisnis, apakah skripsi itu satu-satunya bentuk yang fit?" ujar Tjitjik.
Skripsi Bukan TA yang Lebih 'Tinggi'
Tjitjik menerangkan, bentuk tugas akhir apapun sifatnya setara. Bulan berarti skripsi berstatus lebih tinggi dari bentuk tugas akhir yang lain.
"Tidak ada satu dengan yang lebih rendah atau lebih tinggi," Tjitjik menekankan.
"Untuk misalnya prodi seni, katakanlah prodi kriya. Apakah menulis skripsi bisa benar-benar bisa mengukur, merepresentasikan standar kompetensi lulusannya? Bukannya misalnya membuat kriya atau karya tertentu sesuai dengan standar kompetensi lulusan yang ditetapkan itu menjadi lebih fit?" papar Tjitjik.
Dia mengatakan, kunci dari esensi Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi adalah, dengan adanya fleksibilitas perguruan tinggi terkait penetapan standar, maka kampus bisa benar-benar mengukur untuk dapat sesuai dengan bidang keilmuan dan keunggulan masing-masing.
Tjitjik menjelaskan, prinsip dari transformasi pendidikan tinggi ini sebenarnya ingin menempatkan perguruan tinggi terkait dengan otonomi akademik yang melekat.
"Oleh karena itu dalam menjalankan otonomi akademik yang ada, maka transformasi akademik ini diperlukan dalam upaya juga untuk mengantisipasi dinamika pendidikan tinggi yang saat ini bekembang cepat," ujar Tjitjik sebelumnya.
"Jadi pendidikan tinggi memiliki potensi dampak yg tercepat karena kita tahu bahwa pendidikan tinggi adalah ujung series pendidikan yang ada mulai dari PAUD sampai tingkat pendidikan tinggi," lanjutnya.
(nah/pal)