Menempuh perguruan tinggi dibagi ke dalam beberapa strata, yaitu S1 (Sarjana), S2 (Magister), dan S3 (Doktor). Di Indonesia sendiri, meski sama-sama dikategorikan sebagai jenjang pendidikan tinggi, ketiganya memiliki perbedaan masing-masing.
Mulai dari kedalaman ilmu, waktu kelulusan, hingga kompetensi lulusan yang diharapkan. Selain itu, jumlah Satuan Kredit Semester (SKS) yang harus dipenuhi pada tiap jenjang tentu berbeda.
Dikutip dari laman resmi Universitas Bina Nusantara, SKS yang diberikan kepada S1 jumlahnya 144-160 SKS dengan waktu tempuh selama kurang lebih 4 tahun atau 8 semester.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan untuk program magister dan doktor, jumlah SKS akan lebih sedikit sehingga masa studi yang dijalani juga lebih singkat. Program Magister S2 terdiri dari 36 SKS yang dapat diselesaikan dalam masa 4 semester atau 2 tahun.
Sementara itu, masa studi S3 berkisar antara 6-14 semester dengan jumlah SKS yang bervariasi. Biasanya, hal tersebut tergantung dengan kebijakan program studi kampus.
Berkuliah hingga ke jenjang S3 akan memberikan dampak dan manfaat terhadap diri sendiri. Dalam hal ini, Dr. Tandyo Hasan, S.H, M.H, M.Kn dan Dr. Inge Soesanto, S.H, M.Kn turut memberikan wejangan terkait pentingnya pendidikan jenjang S3.
Sebagai informasi, Dr. Tandyo Hasan dan Dr. Inge Soesanto beserta kedua putranya yang bernama Dr. Michael Hans dan Dr. Mitchell Hans adalah satu keluarga alumni Universitas Airlangga mencetak rekor MURI sebagai "Keluarga Pertama Peraih Gelar Doktor Ilmu Hukum dari Perguruan Tinggi yang Sama", pada 13 Agustus 2022 lalu.
Untuk Upgrade Diri Sendiri
"Yang utama dalam meraih gelar doktor itu untuk diri sendiri, untuk meng-upgrade diri sendiri. Dari situ nanti kita bisa merasakan, oh jadi gini ya masuk S3," jelas Tandyo Hasan kepada detikEdu pada Senin (22/8/2022).
Menurutnya, meraih jenjang S3 doktor akan bermanfaat bagi diri sendiri di masa depan. Hal itu ia rasakan setelah berhasil meraih gelar doktor pada tahun 2008 silam.
Kala itu, lulusan doktor tidak banyak. Tandyo mengaku, setelah dirinya lulus S3 bersamaan dengan sang istri, Inge Soesanto, keduanya menerima banyak tawaran untuk mengajar.
"Kita sempat dihubungi sana sini. Ada juga universitas yang mau buka prodi baru terutama hukum magister notariat, dia butuh doktor. Kaprodinya harus ada yang doktor, itu saya sempat diminta," tambahnya.
Lebih Bisa Berkontribusi Pada Bidang yang Ditekuni
"Kalau saya gini, di S1 itu kita kuliah belajar teori. Kalau di Ilmu Hukum, misal lulus S1 dan peroleh gelar Sarjana Hukum (SH) lalu terjun di sebuah kantor untuk membuat satu kontrak atau apa itu pasti kelabakan. Orang awam itu kurang mengerti, mereka berpikir lulusan S1 mengerti semua, padahal tidak sama sekali karena S1 hanya teori secara umum," ungkap Inge Soesanto.
Menurutnya, yang menjadikan motivasi dirinya untuk lanjut ke jenjang pendidikan S3 yaitu untuk berkontribusi dengan mencurahkan unek-unek terkait hal yang tidak ia sukai. Dalam hal ini, Inge memberi contoh terkait peraturan hukum selaras dengan bidang yang ia tekuni.
"S3 itu tempatnya saya untuk mencurahkan unek-unek saya. Kalau S3 bahasnya sudah lebih sempit lagi, lebih kecil lagi, contoh bahas masalah PG beberapa pasal saja, di situ saya bisa lebih detail dan kasih saran bahwa seharusnya peraturan ini adilnya dimana dan tidak adilnya dimana," ujar dosen Magister Kenotariatan Unair tersebut.
Tiap Jenjang Memiliki Sensasi yang Berbeda
"Masuk S3 itu memang gak setiap orang ada kesempatan ya, baik itu kesempatan masalah keuangan maupun waktu, kalau ada kesempatan tidak ada salahnya masuk S3. Jenjang S1, S2, dan S3 itu sensasinya berbeda," papar Inge Soesanto.
Menurutnya, tiap-tiap jenjang memiliki sensasinya tersendiri. Sedangkan pada S3 sendiri, sensasi ketika menjalani sidang terbuka akan sangat berbeda dengan sidang-sidang pada jenjang sebelumnya.
(lus/lus)