Santet dipelajari oleh tim mahasiswa UGM. Mereka yang terdiri dari Izza (Arkeologi 2019), Derry (Bahasa dan Sastra Indonesia 2019), Ana (Arkeologi 2019), Syibly (Psikologi 2018), dan Fadli (Sastra Jawa 2018) itu berada di bawah bimbingan Dosen Antropologi Budaya UGM Dr. Agung Wicaksono, MA.
Mereka melakukan penelitian terkait bagaimana santet dipahami di masyarakat dan bagaimana pemahaman tersebut berubah dari sesuatu yang memiliki nilai positif menuju hal yang sepenuhnya negatif.
Izza dan tim UGM melakukan penelitian dengan melibatkan berbagai pihak untuk diwawancara, analisis digital, serta analisis tekstual terhadap berbagai teks. Penelitian ini berangkat dari fenomena beragamnya persepsi masyarakat mengenai santet.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemahaman masyarakat Indonesia secara umum terhadap santet dapat dibilang hanya sampai pada simpang siur tanpa adanya bukti valid. Minimnya pengetahuan berbukti valid itu bermuara pada terbentuknya beragam persepsi masyarakat," kata Izza dalam keterangan yang diterima detikcom, Selasa (21/9/2021).
"Mayoritas persepsi tersebut menilai santet sebagai suatu hal yang negatif dan sudah selayaknya ditinggalkan. Persepsi tanpa dasar semacam ini kerap melahirkan reaksi tanpa argumen dan hanya berdasar sentimen belaka," imbuhnya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Izza dan kolega menunjukkan bahwa keberadaan santet dengan segala ruang praktik dan nalar positif dalam masyarakat Jawa terekam dalam peninggalan-peninggalan tekstual. Seperti manuskrip dan aktivitas manusia pada waktu itu.
"Secara tekstual kata santet tidak ditemukan dalam manuskrip. Kata yang memiliki hubungan erat dengan santet adalah kata sathet (dalam Serat Wedhasatmaka tahun 1905) yang berarti 'jenis pesona dengan menggambar'," terangnya.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan Izza dengan Dosen FIB UGM Wisma Nugraha, C.R., M.Hum., meskipun secara tekstual kata santet tidak terdapat dalam beberapa manuskrip sebagai objek kajian data. Namun hal ini dirasa wajar. Sebab dalam kasusastran Jawa, santet merupakan akronim dari mesisan kanthet dan mesisan benthet atau sekali retak.
Selanjutnya, berdasarkan hasil wawancara dengan Perdunu (Persatuan Dukun Nusantara), masyarakat Jawa khusunya Banyuwangi terungkap bahwa sifat dari santet adalah membuat sesuatu menjadi rekat sekalian (mesisan kanthet) ataukah justru sebaliknya yaitu membuat sesuatu menjadi retak atau pecah sekalian (mesisan benthet).
"Oleh karena itu, santet dalam ruang nalar orang Jawa pada waktu itu memuat dua paradigma nilai yakni nilai positif atau kebaikan yang tergambarkan melalui piranti-piranti dan konsep yang membingkai santet menjadi positif serta paradigma nilai santet yang negatif akibat penyalahgunaan santet tersebut," urainya.
Nilai positif santet secara nyata menurut Izza dkk dibuktikan dalam penggunaannya dalam aktivitas keseharian masyarakat Madura untuk menangkap ikan, memanggil hujan, menyembuhkan sakit, dan sebagainya.
Bentuk-bentuk praktik tersebut merupakan bentuk santet yang bermanfaat bagi pelaku dan lingkungan di sekitarnya tanpa merusak dan melukai siapapun. Nilai positif santet ini hidup karena adanya piranti santet yang positif.
"Seperti tersebut di atas bahwa santet memiliki konsep nilai positif dan negatif. Akibat perlakuan yang tidak sebagaimana mestinya santet menjadi disalahgunakan," ucap Izza.
Tim PKM-RSH UGM itu mencoba mengangkat kembali konsep nilai positif santet yang sudah mengalami pergeseran dan marginalisasi di era modern sekarang ini. Pihaknya meminta agar rekontekstualisasi nilai-nilai santet perlu dilakukan dengan tujuan menyelaraskan konsep santet dulu dengan sekarang serta membebaskan santet dalam ruang nalar yang salah akibat marginalisasi dan politisasi ideologi yang berkepentingan.
"Patut kiranya santet dipandang sebagai kekayaan intelektual bangsa yang perlu kita pahami dengan arif dan bijaksana sehingga tidak ada lagi marginalisasi antar budaya," pungkasnya.
Setujukah santet dinilai kekayaan intelektual bangsa detikers?
tag
dukun
ugm
antropologi budaya
fib ugm
kekayaan intelektual
(nwy/nwy)