Seorang pemuda keturunan China sudah menjadi miliarder termuda di dunia pada usia 24-25 tahun. Pada usia tersebut ia berhasil mendirikan dan mengembangkan perusahaan rintisan, Scale AI.
Pemuda yang dimaksud adalah Alexandr Wang. Kini, ia yang berusia 28 tahun, memiliki kekayaan bersih mencapai USD 3,6 miliar atau sekitar Rp 58,5 triliun (kurs Rp 16.274,85), demikian menurut Fortune.
DO dari Kampus Terbaik Dunia
Pada usia sekitar 18-19 tahun, Wang merupakan mahasiswa dari salah satu kampus terbaik di dunia yakni Massachusetts Institute of Technology (MIT). Namun, ia harus putus kuliah tak lama setelahnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia kemudian mengambil langkah besar dengan membangun startup atau perusahaan rintisan di bidang teknologi, terutama pengkodean artificial intelligence (AI). Lima tahun usai putus kuliah, perusahaannya semakin berkembang dan ia berhasil menjadi miliarder termuda di dunia.
Bahkan pada Juni 2025, Wang direkrut oleh perusahaan Meta untuk menjabat sebagai kepala AI. Ini termasuk dalam kesepakatan yang menilai Scale AI sebesar USD 29 miliar.
Pengkodean AI yang Dikembangkan Wang
Mengutip VN Express, apa yang dikembangkan Wang yaitu "vibe-coding", merupakan metode yang memungkinkan programmer untuk membuat kode dengan menjelaskan ide atau perintah kepada AI, alih-alih menulis baris kode tradisional. Istilah ini pertama dicetuskan oleh Andrej Karpathy, mantan pemimpin Tesla AI dan salah satu pendiri OpenAI.
Dengan metode ini, pemrograman bisa menggunakan bahasa alami seperti bahasa Inggris. Menurut Wang, tren ini mirip dengan awal mula keberadaan komputer muncul dan kemudian muncul inovasi seperti yang dilakukan Bill Gates dan Mark Zuckerberg.
Perspektif Wang tentang pengkodean AI ini menjadi tren yang meluas. Pemimpin industri global mulai bereksperimen dengan vibe-coding tersebut untuk mempercepat proyek perusahaan mereka masing-masing.
Terlebih menurut CEO Nvidia Jensen Huang, semua orang saat ini bisa menjadi programmer. Sebab, mereka bisa membuat produk digital hanya dengan mendeskripsikannya dalam bahasa Inggris.
Meski begitu, pengkodean AI ini dinilai memiliki risiko oleh beberapa ahli. Terutama saat digunakan untuk aplikasi pribadi yang bisa mengganggu dalam konteks bisnis.
"Alat yang salah dapat menyebabkan kerusakan serius dan mengakibatkan kebocoran data, penghentian layanan, atau rantai pasokan perangkat lunak yang terganggu," ujar Nigel Douglas, kepala hubungan pengembang di Cloudsmith.
Namun, Wang dan pelaku industri lainnya menekankan bahwa mempelajari dasar-dasar pemrograman tetap berharga. Hal ini terutama jika dikombinasikan dengan alat AI yang dapat meningkatkan keterampilan tersebut.
Wang tetap optimis terhadap pengkodean AI dan meyakini remaja dapat memperoleh keunggulan kompetitif dengan bereksperimen menggunakan alat-alat ini.
"Sebenarnya, dalam beberapa hal, ini adalah momen diskontinuitas yang luar biasa di mana, jika Anda kebetulan menghabiskan, misalnya, 10.000 jam bermain dengan alat-alat dan mencari tahu cara menggunakannya lebih baik daripada orang lain, itu adalah keuntungan yang sangat besar," ungkap Wang.
(faz/nah)











































