Ada banyak dosen inspiratif di Indonesia. Sebagian di antaranya merupakan jajaran top 2% ilmuwan dunia versi Stanford University dan Elsevier. Salah satu dari jajaran ini adalah Eka Noviana dari Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM).
Eka masuk dalam jajaran tersebut lantaran penelitiannya yang mendulang banyak sekali sitasi dari para peneliti lain. Salah satu faktor yang mendukung pencapaian tersebut adalah penelitiannya terkait paper-based analytical device (PAD) atau alat uji analitik berbasis kertas.
Prestasi ini juga membuat Eka diganjar hibah senilai Rp 25 juta dari ParagonCorp. Hibah tersebut berupa dukungan fasilitas pembelajaran seperti penunjang riset dan sebagainya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hibah itu diberikan kepadanya secara langsung melalui program "Blusukan: Mengunjungi Dosen Inspiratif" yang berlangsung di Fakultas Farmasi UGM pada Sabtu (11/10/2025).
Selain Eka, terdapat 12 dosen inspiratif lain di seluruh Indonesia yang akan memperoleh hibah tersebut.
Melalui Blusukan, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek), selaku mitra program ini memperkenalkan dosen-dosen berdampak di Indonesia kepada masyarakat. Sosok-sosok inspiratif ini juga diharapkan memantik naiknya minat generasi muda pada bidang science, technology, engineering, dan mathematics (STEM).
Sedari Awal Eka Ingin Penelitiannya Berdampak
Dengan konsentrasi keilmuan dalam bidang analitik, Eka memiliki ketertarikan membuat alat untuk mendeteksi sesuatu. Misalnya seperti bahan berbahaya dalam berbagai jenis sampel.
Kepada awak media, Sabtu (11/10/2025), Eka menunjukkan bagaimana alat uji analitik berbasis kertas bisa mendeteksi kandungan berbahaya dalam makanan.
Alat dengan Biaya Terjangkau
Keunggulan alat ciptaan Eka yakni kemampuannya untuk deteksi cepat di lapangan. Tidak hanya itu, biayanya juga terjangkau masyarakat.
"Nah, kita coba mengembangkan metode yang itu bisa digunakan langsung di lapangan, harapannya cukup ramah digunakan oleh pengguna yang tidak punya background lab. Jadi tujuannya seperti itu, gimana caranya kita membuat alat deteksi itu lebih aksesibel, baik dari segi biaya, maupun segi fasilitas," tutur Eka.
Bisa Dipakai tanpa Listrik
Ia menambahkan, alat uji berbasis kertas tersebut juga dirancang untuk warga yang tidak dapat mengakses listrik dan fasilitas laboratorium. Pertimbangan desain ini juga mengingat kondisi RI sebagai negara kepulauan yang akses listrik dan laboratoriumnya belum merata.
"Jadi yang tidak butuh alat besar, tidak butuh dicolokin ke listrik, bisa dibawa ke lapangan, ceritanya seperti itu," ungkap Eka.
"Apalagi Indonesia ini negara kepulauan, tidak semuanya itu bisa mengakses alat laboratorium, kadang juga listrik mungkin terkendala. Jadi kalau kita bisa bawa ini ke lapangan, itu akan sangat berguna. Kita sebutnya resource limited setting. Intinya lokasi-lokasi yang akses terhadap sumber daya, resource itu terbatas," lanjutnya.
Karya untuk Masyarakat Indonesia
Lulusan magister dan doktor University of Arizona Amerika Serikat itu mempertimbangkan bagaimana agar alat yang ia buat berdampak bagi masyarakat, sebelum memilih penelitian tersebut.
"Ketika saya memilih untuk mengambil penelitian ini, saya sudah berpikir, 'Oh ini cocok nggak di Indonesia?'" kata Eka.
"Itu kan kita beneran membuatnya itu kayak kita DIY banget ya, kita cetak, kita dispense dengan alat-alat yang sederhana. Jadi harapannya meskipun tadi penelitiannya sederhana, kita tetap bisa menghasilkan penelitian yang berdampak dan juga bisa dimanfaatkan oleh masyarakat," ujarnya.
(nah/twu)