Pengamat dan pakar satwa liar sekaligus Guru Besar Bidang Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (FKH UGM) Raden Wisnu Nurcahyo soroti maraknya kasus perdagangan dan penyelundupan orang utan lintas negara. Menurutnya, keadaan ini akan membuat keseimbangan ekosistem hutan menjadi terganggu.
Sosok yang akrab dipanggil Wisnu itu, mengakui memang perdagangan orang utan dan satwa liar lain di Indonesia sudah berlangsung lama. Bahkan, diperkirakan sejak 30 tahun lalu.
Namun, tren dan proses perdagangan semakin meningkat usai krisis moneter 1998. Untuk itu, ia menyoroti bila ekonomi adalah penyebab utama kasus ini bisa terjadi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kondisi ekonomi yang sulit seringkali membuat masyarakat menganggap satwa liar, termasuk orang utan, sebagai sumber mata pencaharian alternatif," tuturnya dikutip dari laman resmi UGM, Selasa (2/9/2025).
Kebutuhan Ekonomi hingga Lemahnya Penegakan Hukum di Indonesia
Tidak bisa dipungkiri, harga jual orang utan dipatok sangat tinggi. Hal inilah yang membuat praktik ini terus terjadi bahkan hingga sekarang.
Meskipun sudah ada aturan hukum yang ditetapkan, oknum-oknum nakal tetap memiliki cara agar jual-beli orang utan tidak berhenti di tengah jalan. Jalur distribusi perdagangan orang utan dibeberkan Wisnu kerap memanfaatkan rute-rute kecil.
Akibatnya, proses distribusi tidak terdeteksi dan praktik penyelundupan sulit untuk dilacak. Tidak hanya ekonomi, Wisnu juga menyoroti lemahnya penegakan hukum di Indonesia terkait hal ini.
Ia memang mengapresiasi lantaran pemerintah telah menyusun Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orang Utan. Namun, hal ini dinilainya masih belum cukup.
"Sanksi bagi pelaku masih terlalu ringan. Diperlukan revisi regulasi agar hukuman penjara lebih lama dan denda lebih berat, serta integritas aparat yang tidak mudah suap," tegasnya.
Masalah perdagangan orang utan dan satwa liar ilegal memang tidak bisa dipantau secara sendiri oleh Indonesia. Kendati demikian, Wisnu melihat kerja sama antarnegara terutama di ASEAN sudah baik terkait hal ini.
Sayangnya, sebagian besar upaya konservasi justru masih banyak digerakkan oleh organisasi luar negeri. Indonesia menurutnya masih menekankan kebutuhan manusia dibanding konservasi satwa.
"Hal ini dipengaruhi keterbatasan sumber daya, rendahnya kesadaran masyarakat, serta prioritas ekonomi domestik yang lebih menekankan kebutuhan manusia dibanding konservasi satwa," imbuh Wisnu.
Orang Utan Punya Peran Penting Menjaga Keseimbangan Hutan
Orang utan diketahui punya peran penting sebagai satwa kunci dalam menjaga keseimbangan hutan. Lantaran mengonsumsi buah-buahan, orang utan ikut membantu penyebaran biji tanaman melalui fesesnya.
"Biji-biji itu kemudian tumbuh menjadi tunas baru dan memperkaya biodiversitas. Jadi, hilangnya orang utan akan berdampak pada hilangnya fungsi alami regenerasi hutan," papar Wisnu.
Saat ini, populasi orang utan semakin menurun. Tidak hanya karena diperjual belikan, tetapi juga ada faktor lain, seperti berkurangnya hutan primer akibat kebakaran, pembalakan, dan konversi lahan.
Orang utan merupakan satwa yang tidak bisa hidup di hutan tanaman industri seperti sawit atau kayu. Lantaran hutan primer berkurang, satwa ini kian terdesak.
Ketika jumlah orang utan terus menurun, keadaan ini bisa meningkatkan risiko kerusakan ekosistem dan perubahan iklim. Melihat keadaan ini, Wisnu merekomendasikan berbagai langkah konkret.
"Perlindungan kawasan hutan, penguatan hukum, pendanaan khusus untuk konservasi, serta pendirian pusat rehabilitasi orang utan di berbagai titik," urainya.
Ia juga menekankan pentingnya melibatkan generasi muda di kegiatan riset, pendidikan, dan pengabdian masyarakat. UGM sendiri, memiliki kelompok mahasiswa yang khusus bergerak di bidang konservasi satwa.
"Seperti Kelompok Studi Satwa Liar FKH, Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan, dan lain-lain. Upaya ini harus terus diperluas agar tumbuh kesadaran kolektif menjaga orang utan sebagai warisan bangsa," tandasnya.
(det/faz)