Saat pertama kali tiba di Rusia untuk menempuh studi S1, aku menyadari bahwa perbedaan antara Indonesia dan Rusia bukan sekadar soal cuaca atau makanan. Ada jarak yang nyata dalam hal budaya, kebiasaan, bahkan cara berkomunikasi. Meskipun aku telah mempersiapkan diri secara umum, nyatanya adaptasi tidak selalu semudah yang dibayangkan.
Beberapa perbedaan membuat aku bingung. Namun di saat yang sama juga merasa tertantang dan bersemangat karena ini berarti aku sedang mempelajari sesuatu yang benar-benar baru.
Salah satu momen yang paling saya ingat adalah ketika harus memanggil dosen di kelas. Di Indonesia, kita biasa menggunakan sapaan sederhana seperti "Pak" atau "Bu". Sapaan tersebut merupakan sebuah kewajiban tidak tertulis, sekaligus sebagai bentuk hormat kita kepada guru maupun orang-orang yang lebih tua daripada kita. Bahkan akan terasa aneh jika kita memanggil seorang guru tanpa embel-embel tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, ketika aku duduk di kelas bahasa Rusia Ural Federal University, kelas wajib yang harus kuhadiri selama satu tahun sebelum memasuki dunia perkuliahan, aku mempelajari hal baru dari dosenku saat itu yaitu Elena Fominykh.
"Di Rusia, kami memanggil orang dalam acara resmi dengan susunan nama depan dan patronimik-atau nama ayahnya." Contoh yang diberikan oleh beliau adalah penyebutan Presiden Rusia, yang terdiri dari Putin yang merupakan nama familiya atau marga, Vladimir yaitu nama depan, dan Vladimirovich yakni nama ayah atau patronimik.
Jadi, di dalam situasi resmi di Rusia, Presiden Vladimir Putin akan dipanggil Vladimir Vladimirovich, bukan Pak Putin seperti di budaya Indonesia. Saat mempelajari hal ini di hari pertama, aku sudah kebingungan tentang bagaimana cara memanggil orang lain.
Secara resmi, kelas Rusia memang tentang mempelajari bahasa Rusia. Namun dari kelas ini juga aku bertemu dengan berbagai budaya dari negeri-negeri lain. Beberapa teman yang kutemui di kelas ini misalnya. Samuel yang berasal dari Mesir, Charles dari Kongo, Eugi dari Meksiko, Ghozde asal Turki, hingga Zhang Zhengguan asal China. Cara kami berkomunikasi juga tak kalah beragam, dan menurutku cukup lucu dengan campuran bahasa inggris dan bahasa Rusia yang kacau balau.
Aku ingat bagaimana cara kami berkomunikasi ketika bahasa Rusia kami masih belum begitu sempurna. Saat itu, kami diberi tugas untuk menceritakan mengenai apa yang kami lakukan di hari Minggu yang merupakan hari libur.
Charles pun bercerita, "Saat libur, saya memasak sup kentang. Selain itu, saya..." Charles kebingungan untuk melanjutkan ceritanya, dan memilih menggerakkan kedua tangan seolah tengah menyapu. Kami berenam termasuk dosen bahasa Rusia, tertawa terbahak-bahak.
Tak terasa satu tahun kemudian berlalu dan aku pun menempuh pendidikan yang sesungguhnya sebagai mahasiswa tahun pertama jurusan Ekonomi Terapan. Saat itu tanggal 1 September 2024, hari dimana aku memulai kuliahku secara resmi. Grup kelas yang kudapat bernomor EU-143612 dan hanya ada 30 orang mahasiswa, yang mana aku adalah satu-satunya orang asing di kelas itu.
Mereka semua orang Rusia yang berbicara cepat menggunakan slang lokal. Mereka memang ramah, tetapi ada tembok tak kasat mata di antara kami dan juga mereka tidak repot-repot untuk menyapaku lebih dulu. Pada saat itu, aku benar-benar merasa bahwa aku sendirian.
Hingga pada suatu hari saat kampus menggelar open house organisasi di lapangan fakultas, di mana suasana dipenuhi keramaian mahasiswa baru. Di tengah hiruk-pikuk itu, pandanganku tertuju pada tiga mahasiswi yang sedang berdiri di dekat stan foto. Aku pernah melihat mereka di ruang kelas.
Dengan menggenggam erat sebuah printer foto mini, aku memberanikan diri melangkah mendekati mereka. Di tengah keraguan, aku membuka percakapan dengan senyum penuh harap. "Hai! Aku memiliki sebuah printer foto mini. Kalau kalian mau, aku bisa memotret kalian dan akan kucetak. Ah, tenang saja, ini gratis," ucapku sembari tersenyum, mencoba terlihat berani.
Polina, salah satu di antara mereka menatapku heran. Ia pun bertanya, "Gratis? Untuk apa?"Aku pun tertawa gugup. "Aku ingin berteman dengan kalian. Aku bingung mau memulainya dari mana," jawabku. Rezeda dan Yekaterina tersenyum ramah, lalu mendekat padaku sambil berkata, "Aku mau! Ayo kita berfoto."
Aku mengangguk. "Tentu! Tapi, boleh tidak aku menanyakan soal tugas kepada kalian jika aku bingung?" Ketiga gadis itu tertawa, kemudian mengiyakan.
Di hari kedua pengenalan dunia kampus, aku kembali sendirian. Aku melihat beberapa kelompok-kelompok kecil pertemanan. Lagi dan lagi aku merasakan adanya dinding tak kasat mata yang memberi jarak antara aku dan mereka.
Namun, aku kembali mengingat interaksiku kemarin bersama para mahasiswi, sepertinya aku harus kembali membuat pergerakan lebih dulu agar bisa berteman. Maka dari itu, kuperhatikan baik-baik orang-orang yang ada di sekitarku. Hingga akhirnya aku memberanikan diri mendekati kumpulan anak laki-laki yang berjumlah 5 orang, yang lagi-lagi pernah kulihat di kelasku.
"Hai! Kalian sedang membahas apa?" tanyaku dengan nada yang sedikit gugup. Mereka berlima menoleh ke arahku. "Oh, hai! Kamu murid asing itu kan?"
Aku menarik kedua sudut bibirku dengan canggung. "Ya, benar! Kalian tampaknya sedang membahas mengenai pelajaran ya? Bolehkah aku bergabung?" Kelima mahasiswa itu mengangguk. "Kami sedang membahas mengenai tugas minggu lalu."