Ada 30 wakil menteri (wamen) di Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN. Kondisi ini pun mendapatkan sorotan dari berbagai pihak, termasuk kalangan akademisi.
Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang P Wiratraman, mengatakan, situasi yang sedang terjadi menunjukkan adanya standar etika berpolitik yang rendah.
"Saya merasakan bahwa hari-hari ini standar etika berpolitiknya sangat rendah sekali, diakibatkan oleh begitu banyak konflik kepentingan yang dinormalisasi oleh kekuasaan," katanya kepada detikEdu, Kamis (17/7/2025), ditulis Senin (21/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adanya, rangkap jabatan, menurut pengamatan Herlambang, akan membuat pekerjaan menteri tidak fokus. Pada gilirannya, hal ini bisa merugikan layanan publik.
"Saya melihat, misalnya, wakil menteri pamer aktivitasnya hingga larut malam untuk fokus mengerjakan kementeriannya. Tapi ditambah komisaris kan semakin memperlihatkan dia tidak bisa fokus dan itu tentu layanan publik yang akan dirugikan," tambahnya.
Kekhawatiran Akan Lahirnya Pemerosotan Demokrasi
Menurut Herlambang, apa yang sedang ditunjukkan oleh pemerintahan saat ini, seperti kondisi negara yang demokrasinya melemah.
"Yang menjadi praktik jamak di sebuah negara yang cenderung melemah demokrasinya adalah politik kita menjadi transaksional atau bagi-bagi kekuasaan untuk kepentingan merawat aliansi atau relasi politiknya dan ini justru melahirkan pemerosotan demokrasi," ungkapnya.
"Itu hal yang menjadi kekhawatiran kita semua, bahwa akan melahirkan pemerosotan demokrasi," imbuh dosen yang juga Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial di FH UGM.
Ia tidak menampik, bahwa sejak lahirnya UU Cipta Kerja, alih-alih menciptakan lapangan pekerjaan, yang terjadi justru sebaliknya. Begitu banyak warga negara yang kehilangan pekerjaan.
Ini artinya, ada semakin banyak warga negara yang kehilangan ruang hidupnya. Selain itu, juga ada semakin banyak warga negara yang kehilangan akses untuk hidup yang layak (dengan) bekerja di kampungnya sendiri, karena pengusiran, karena penyingkiran, akibat eksploitasi eksesif perkebunan, (seperti) kelapa sawit atau eksploitasi eksesif tambang nikel, batu bara, dan tambang-tambang yang lain.
"Jadi kebijakan-kebijakan yang lahir (akhirnya) menjadi absurd dan kontraproduktif bagi upaya penyejahteraan masyarakat," ucapnya.
Rangkap Jabatan Merusak Demokrasi
Herlambang menyebut, jika kemarin ada ekonom yang mengatakan cara pandang Presiden Prabowo adalah berpikir dengan orientasi kesejahteraan, maka menurutnya, (sekarang) ini justru situasi yang bertolak belakang.
"Mari kita lihat, angka pengangguran semakin tinggi, kesejahteraan makin melemah, orang yang mencari kerja sangat banyak akibat ketidakjelasan situasi politik, ekonomi, dan ini ditambah dengan ketidakpastian hukum, politik yang represif atau kekerasan (yang) terus menerus terjadi, pula impunitas dan diskriminasi yang sangat jamak dan mudah ditemui di republik ini," paparnya.
Maka itu, ia berpendapat rangkap jabatan yang terjadi pada wakil menteri bisa merusak demokrasi. Hal semacam itu, jauh dari prinsip ideal sebuah negara yang mengaku dirinya negara hukum yang demokratis.
"Jadi saya kira, jabatan-jabatan yang rangkap semacam ini itu merusak demokrasi, merusak sendi negara hukum yang demokratis, dan juga merusak mental bangsa, kaitannya dengan bagaimana mengajarkan etika politik & bernegara yang baik dan itu sangat jauh dari prinsip-prinsip ideal di sebuah negara yang mengaku dirinya negara hukum yang demokratis," pungkasnya.
(faz/nwk)