Viral tradisi pacu jalur dari aksi siswa SD Rayyan Arkan Dhika belakangan ini di media sosial. Dengan outfit hitam plus kacamata hitam, ia menari spontan di atas jalur atau sampan atau perahu kayu panjang bagian depan sambil menjaga keseimbangan.
Dalam waktu dekat, pacu jalur (balap perahu) yang viral karena aksi Dhika akan dilagakan pada Festival Pacu Jalur tingkat nasional di Tepian Narosa, Kabupaten Kuantan Sengigi (Kuansing), Provinsi Riau, 20-24 Agustus 2025 mendatang.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengatakan, internasionalisasi tradisi pacu jalur menjadi penting untuk memanfaatkan momentum viral. Contohnya dengan mengundang pemain asal luar negeri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"(Momen viral ini) menjadikan ekspresi budaya itu mendapat respons atau menjadi percakapan selebritas dunia, dan tokoj di bidang lain, seperti olahraga. Ini menjadi cara kita mempromosikan tradisi dengan cara-cara unik," katanya di Taklimat Media dengan Dhika di Gedung A Komplek Kemendikbud, Jakarta, Rabu (9/7/2025).
"Kami ingin nanti bisa mengundang pemain internasional," imbuhnya.
Ingin Usulkan ke UNESCO
Fadli Zon menambahkan pihaknya juga berencana mengusulkan tradisi pacu jalur ke Organisasi Pendidikan, Ilmiah, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) agar dapat diakui dunia sebagai warisan budaya takbenda UNESCO.
Saat ini, tradisi pacu jalur telah masuk daftar warisan budaya takbenda Indonesia sejak 2014.
"Antriannya panjang tapi kita akan oerjuangkan. Kita siapkan naskah akademik, dossier (berkas), dengan info yang ada akan menjadi lebih mudah untuk kita usulkan ke UNESCO," ucapnya.
Tradisi Pacu Jalur
Bupati Kabupaten Kuantan Sengigi (Kuansing) Dr H Suhardiman Amby, MM menjelaskan tradisi pacu jalur berawal sejak sekitar 1905. Jalur sendiri berarti perahu kayu panjang, sedangkan pacu berarti lomba atau kejar.
Jalur semula digunakan untuk mengangkut barang pertanian, perdagangan, dan sembako. Pacu jalur diadakan untuk memeriahkan perayaan hari-hari besar keagamaan Islam.
Pada zaman kolonial, pacu jalur diminta jadi bagian peringatan ulang tahun Ratu Wilhelmina. Kemudian mulai masa kemerdekaan, pacu jalur menjadi bagian perayaan hari ulang tahun (HUT) RI, khususnya di Tepian Narosa, Teluk Kuantan, Provinsi Riau.
Simbol Gotong Royong
Jalur semula dibuat swadaya oleh warga, sebelum melibatkan pemerintah. Kayu yang dipilih berasal dari kayu pilihan, seperti kayu meranti, sembilang, atau kayu kulim, yang lazimnya berusia di atas 100 tahun.
Pemuka adat dilibatkan untuk memilih kayu dan ritual pembuatannya. Jalur kemudian juga dihias dengan ukiran tradisional khas Melayu.
Satu perahu bisa sepanjang 25-38 meter. Beberapa di antaranya mencapai panjang 40 meter. Kapasitasnya mencapai 50-73 orang.
Gotong royong juga tak berhenti pada pembuatannya. Kompetisi pacu jalur membutuhkan kekompakan tiap anggota sesuai perannya agar melaju paling kencang dengan seimbang.
Pendayung hingga Penari
Kelompok pendayung utama pacu jalur bertugas mendayung perahu. Di bagian depan perahu, ada anak coki atau anak-anak penari yang bertugas menghibur penonton dan menyemangati pendayung dengan gerak tari unik dan jenaka.
Di bagian tengah jalur, tukang timba yang disebut tukang timbo ruang bertugas menimba air yang masuk perahu agar tak karam. Sedangkan tukang concang bertugas sebagai pemberi komando, aba-aba, dan memastikan kelancaran pacu.
Sementara itu di belakang, tukang onjai bertugas menjaga irama dengan mengayunkan badan agar tempo dayung stabil. Ada pula juru kemudi yang memastikan perahu tetap berada di garis jalurnya. Kelompok di depan, tengah, dan belakang disebut tigo tungku sajarangan. Berangkat dari warga, pacu jalur kini kian dikenal oleh dukungan kreator konten.
"Jalur tidak lepas dari warga, kepala RT, sampai ke lapangan. Dibantu content creator, ini mempercepat viralnya di Kuansing, Riau, hingga dikenal di Indonesia," ucapnya.
(twu/nwk)