Belajar dari Suku Dayak Iban: Menjadi Manusia yang Menjaga & Merawat Bumi

ADVERTISEMENT

Belajar dari Suku Dayak Iban: Menjadi Manusia yang Menjaga & Merawat Bumi

Fahri Zulfikar - detikEdu
Rabu, 20 Nov 2024 09:00 WIB
Seni Tato Suku Dayak Iban
Foto: Asti Azhari/detikTravel/Salah satu kesenian Suku Dayak Iban
Jakarta -

Indonesia adalah negara dengan hutan tropis terbesar ketiga di dunia dan menyumbang 10 persen paru-paru bumi. Namun, penggundulan hutan yang dilakukan oleh manusia terus terjadi dan semakin membuat paru-paru bumi menyusut. Lantas bagaimana cara menjaganya?

Menurut data yang dilaporkan World Population Review, Indonesia termasuk ke dalam negara yang paling banyak kehilangan hutan tropisnya sejak 1990 hingga 2020. Indonesia kehilangan sekitar 101.977 mil persegi (264.119,19 kilometer persegi) atau setara 22,28%.

Sementara pada 2022, laporan Statista menunjukkan bahwa Indonesia telah kehilangan hutan tropis primer mencapai 230.000 hektare. Ini menjadikannya negara dengan kehilangan luas hutan primer terbesar keempat di dunia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun di sisi lain, data World Resources Institute mengungkapkan bahwa deforestasi di Indonesia dalam satu dekade terakhir tergolong rendah.


Masyarakat Adat, Sang Perawat Hutan di Indonesia

Menurut World Economic Forum (WEF), keberadaan masyarakat adat dari berbagai suku telah membuat lingkungan terawat dengan sangat baik. Laporan menunjukkan bahwa wilayah bumi yang diawasi oleh masyarakat adat terbukti memiliki kondisi yang lebih baik dibandingkan yang lain.

ADVERTISEMENT

Meski populasi masyarakat adat hanya 5% dari populasi global, tetapi peran mereka bisa melindungi 80% keanekaragaman hayati di planet Bumi yang tersisa.

Di Indonesia, hutan yang sangat luas juga menjadi rumah bagi ratusan suku. Keberadaan masyarakat adat dari suku-suku ini sangat penting bagi terjaganya hutan dan ekosistem alamnya.

Hutan akan dikelola oleh masyarakat adat dan dengan hukum adat yang turun temurun. Maka dari itu, menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 9 tahun 2021, hutan adat merupakan bagian dari perhutanan sosial dan dapat berada di atas kawasan hutan negara atau hutan hak adat. Pengelolaannya dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat (MHA).

Salah satu hutan yang dirawat oleh masyarakat adat yakni hutan di Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Dusun ini terletak sejauh 700 kilometer dari Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat.

Suku yang mendiami hutan di dusun tersebut adalah Dayak Iban, bagian dari enam rumpun besar suku Dayak, penduduk asli Pulau Kalimantan yang berkembang menjadi 268 subsuku, menurut keterangan yang dikutip dari Indonesia.go.id.

Dayak Iban: Manusia-manusia Penjaga Bumi

Bagi masyarakat Dayak Iban, hutan memiliki posisi penting dalam kehidupan mereka sehari-hari, sejak dulu hingga masa depan. Mereka memiliki prinsip yang diwariskan secara turun temurun yakni:

"Babas adalah apai kami, tanah adalah inai kami, dan ae adalah darah kami."

Artinya, hutan melambangkan posisi seorang bapak, tanah diartikan sebagai ibu, dan air bagai darah yang mengalir di sekujur tubuh.

Selayaknya manusia seutuhnya yang saling menjaga dan merawat makhluk hidup lain, masyarakat Dayak Iban sangat takut merusak alam. Alasannya, karena mereka memiliki kesadaran bahwa mereka bernapas dengan udara dari hutan dan mendapatkan makanan juga dari hutan.

Meski telah diberi hak milik atas hutan adat, masyarakat Dayak Iban Sungai Utik tidak serakah. Dari sekitar 9.425,5 hektare hutan adat, sebanyak 6.780 hektare dijadikan hutan primer dan tidak boleh diganggu gugat.

Mereka membiarkan hutan tersebut tetap lestari terutama sebagai cadangan air dan berkembang biaknya aneka flora dan fauna. Sementara sisanya, seluas 2.645,5 hektare dijadikan hutan produksi terbatas, tempat warga menanam aneka tanaman kebutuhan sehari-hari termasuk padi, sayuran, rotan, dan tanaman keras.

Bahkan untuk pola pertanian atau perkebunan diatur secara ketat. Aturan adat telah diterapkan sejak menanam hingga panen. Penggunaan lahan pun ikut diatur agar tidak merusak alam dan biasanya dilakukan di tepi hutan produksi supaya mudah pengawasannya.

Dalam hal ini, termasuk pemanfaatan kayu hutan yang diatur secara bijak yakni setiap warga hanya dibolehkan memotong tak lebih dari 30 pokok kayu dalam setahun. Kemudian, setiap kayu yang mereka tebang harus diganti dengan 2-4 bibit tanaman baru, begitu seterusnya.

Jika aturan ini tidak dilakukan, maka denda adat diberlakukan yaitu membayar sejumlah uang untuk disetorkan kepada kas dusun. Nantinya, uang kas ini bisa dipakai bagi keperluan bersama.

Kehidupan masyarakat Dayak Iban yang sangat memperhatikan alam ini membuat hutan selalu terjaga. Di sana, tak pernah terdengar ada kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Bagaimana manusia-manusia bernama masyarakat Dayak Iban ini merawat alam turut mendapat sorotan dan apresiasi. Pada Juli 2019, masyarakat Dayak Iban mendapatkan penghargaan lingkungan hidup bergengsi dari Pemerintah RI yakni Kalpataru untuk kategori Penyelamatan Lingkungan.

Kemudian pada tahun tersebut, Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) juga menobatkan masyarakat Dusun Sungai Utik sebagai pemenang Equatorial Award.

Menurut UNDP, masyarakat adat di Dusun Sungai Utik memiliki solusi inovatif berbasis alam, mampu mengatasi perubahan iklim, mengentaskan kemiskinan, dan tetap menjaga kelestarian lingkungan alam tempat mereka tinggal.

Terakhir pada 2023, masyarakat Dusun Sungai Utik juga mendapatkan penghargaan lagi. Kali ini dari Yayasan Calouste Gulbenkian yang berpusat di Lisabon, Portugal.




(faz/pal)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads