Muhadoroh
Saya adalah santri produk boarding school. Sekolah saya dikenal dengan sebutan Islamic Education Centre (IEC). Konsepnya adalah sekolah berasrama. Para siswa 24 jam tinggal dan menghirup udara berbalut doa-doa suci di pondok. Terbiasa hidup sederhana, sebagaimana salah satu semboyan di lingkungan asrama. Para siswa belajar, berlatih dan mendidik diri dengan memanfaatkan apa saja yang ada di lingkungan asrama, yang lazim kami sebut pondok. Kami dilatih hidup prihatin sejak kami masuk asrama hingga lulus. Semacam micro tirakat dalam yang dipraktekkan para asketis.
Di sini, lebih banyak kurang dari pada berlebih. Jangan tanya apakah tersedia air mandi setiap saat. Kalau musim kemarau tiba, para siswa bersiap sejak malam hari, mengisi bak-bak kecil untuk digunakan mandi pagi hari. Jangan juga tanya apakah bisa mudah memperoleh air minum saat sudah di kamar, sebab hanya siswa yang berkecukupan saja, yang makan minumnya disediakan di peruga--Perumahan Guru Berkeluarga. Istilahnya mereka kos dan bayar makan di situ.
Saya? Tidak termasuk itu. Bersama kebanyakan siswa lain, pantry saya di damasdiri--dapur masak sendiri, selama bertahun-tahun hingga menjelang saya lulus. Tapi soal menjadikan ladang sebagai mimbar pidato, atau deretan pohon kelapa di sepanjang jalan-jalan asrama sebagai tempat menghafal pelajaran, adalah kebiasaan semua siswa. Malam itu adalah jadwal muhadoroh. Latihan pidato di hadapan para siswa dari semua kelas berbeda. Agenda rutin dan terjadwal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penajaman Skill Berbahasa
Sore itu selepas asar, saya beringsut di celah bangunan asrama menuju ladang bekas tanam tembakau. Di depan ribuan pohon tembakau yang daunya tuntas dipetik, saya berucap salam. "Allow me to start preaching...," saya mengawali pidato di depan ribuan pemirsa, pohon-pohon tembakau yang mulai mengering. Itu adalah perangkat latihan pidato. Itu adalah medium alam di bawah langit, yang melatih kami mempraktekkan standr umum public speaking. Latihan sebelum muhadoroh. Muhadoroh adalah medium public speaking paling digemari. Kesempatan manggung dan mematut-matut diri layaknya Bung Tomo dan Bung Karno.
Para siswa baru, biasanya dibantu oleh para senior untuk mendapatkan materi pidato. Bahannya berbahasa Inggris dan Arab. Agenda ini dimulai habis salat isya dan baru kelar jam 21.00. Para siswa yang dapat jadwal berorasi, tampil mengenakan dasi. Demikian kegiatan ini berlangsung sepanjang 3 tahun, hingga siswa baru beranjak dewasa dan dapat giliran jadi pengurus di tingkat rayon atau organisasi ekstrakurikuler. Di kelas 2 atau 8 dalam konsep kelas saat ini, para siswa, rata-rata sudah lancar berbahasa Inggris dan Arab. Di kelas akhir, mereka punya kewajiban membuat otobiografi.
Di kelas, ada juga majalah kelas. Semua siswa wajib membuat tulisan untuk menajamkan keterampilan tulis dan tutur dengan dua bahasa asing itu. Atau mereka memilih kegiatan ekstra lewat berlatih seni peran di Teater Hilal, atau belajar menulis di Al Amien Author Club, atau di Al Amien Orator Club, atau Sanggar Sastra Al Amien. Jamal D. Rahman, penyair nasional, jebolan sanggar ini. Mentor sanggar adalah D. Zawawi Imron. Prof. Mun'im A. Sirry dan Zuhairi Misrawi lulusan Author Club. Atau KH Samson Rahman dan Dr. Amir Faishol Fath yang jebolan Orator Club.
Inspeksi Mendadak
Tahun 1981, di Bayturrahman. Rumah ibadah itu berukuran mini. Sejatinya, ia belumlah layak disebut masjid. Hanya karena merupakan satu-satunya tempat salat di komplek itu, ia terpaksa menyandang sebutan masjid. Anehnya, ia bisa menampung hingga 300 an remaja. Setiap bel usai berdentam, sudah tak terlihat santri di jalan-jalan menuju masjid. Tapi, sore itu, senyap menyergap. Qismul Amn, muallim (sebutan siswa kelas akhir) Abdurrahman Karim, berdiri membeku. Cambangnya merambat lebat.
Semua bisa melihat jelas, sajadah berpilin bergerak ritmis mengayun dalam genggaman. Ia minta semua santri kembali ke kamar. "Sore ini ada taftisy," katanya tanpa ekspresi. Kaku. Beku. Jamaah masjid saling toleh. Cemas membayang di bola mata mereka. Bak gerakan mekanis yang konstan, mereka bersegera ke kamar dalam tanya. Kamar yang dihuni anak-anak santri, dari kelas 1 hingga 4. Kecuali santri kelas 5 dan 6.
Mereka tak termasuk objek taftiys. Justeru mereka lah inisiator kegiatan tersebut. Apa itu taftisy ? Ini istilah sidak--inspeksi mendadak, di Tarbiyatul Mu'allimin Al Islamiyah (TMI) Pondok Pesantren Al Amien. Seperti istilahnya, sidak tak dilakukan berkala apalagi terjadwal. Sidak dilakukan karena alasan khusus dalam konteks "kegentingan". Alasan "kehilangan" barang milik siswa adalah salah satu alasannya.
Konsep Wali Kelas
Taftiys yang dilakukan Qismul Amn atau Security Section alias Bagian Keamanan ISMI--Ikatan Santri TMI, adalah pemeriksaan dalam level yang meliputi semua santri. Selain yang dikecualikan di atas. Sasarannya adalah properti santri yang disimpan di dalam lemari. Jika ada gambar wanita bukan mahrom, misalnya, santri mesti bertanggungjawab. Atau senjata tajam, atau barang asing lain. Iqob tahdzibi (sanksi moral) menanti pelanggar.
Ada agenda taftisy lain yang sifatnya lebih terbatas, yakni taftisy yang dilakukan atas inisiatif wali kelas. Biasanya untuk kelas satu hingga kelas tiga. Waktu Penulis duduk di kelas 1 B, wali kelas Ust Mujammi' Musyfi, menggunakan taftisy sebagai salah satu cara melatih anak asuhnya, para santri kelas satu, belajar bertanggungjawab atas semua yang ada di dalam lemari ; tempat barang milik santri disimpan.
Waktu duduk di kelas 2 B, wali kelas Penulis, Ust Husein, juga melakukan hal yang sama. Meski bukan agenda tertulis, tapi taftisy sangat efektif jadi cara memupuk disiplin diri, terutama terkait ikhtiar para santri membangun rasa dan batin dengan wali santri. Bahwa ; tidak semua orang tua bisa dengan mudah menyiapkan barang-barang yang dibutuhkan para santri. Bahwa ; barang-barang itu adalah lelehan keringat dan butiran munajat tengah malam ayah bunda mereka.
Atau, itulah uang yang mereka tabung dalam waktu yang tidak sebentar. Diantarkan setiap Jum'at. Dimasukkan dalam karung bekas terigu. Para wali santri, menunggu di bawah naungan pohon kelapa. Pohon yang berbaris memanjang, memagari pondok, menjatuhkan buah untuk guru besar kami, KH Moh Idris Jauhari, dalam menghidupi keluarga. Pohon yang di malam hari menjelma suar karena limpahan cahaya lampu para santri saat murojaah.
Ketika jadi wali kelas, Penulis coba menjadikan taftisy sebagai bentuk pendekatan rasa dengan para santri. Semua santri asuhan Penulis, dibekali buku khusus berisi catatan semua barang dan properti para santri. Satu-satu nama barang berpindah dari lemari ke dalam buku. Jumlah baju, sarung, celana dalam semua jenis, kopiah, gesper, dasi, kacu pramuka. Atau piring, alat-alat kelengkapan kelas, jam tangan, peniti, parfum, gayung.
Status Jarum Jahit
Bahkan kancing baju dan jarum jahit, harus dicatat. Walhasil tak ada barang yang tidak terdaftar. Bulan depan, atau dua bulan kemudian, wali kelas kembali akan menggelar sidak. Melakukan kegiatan stock opname berdasar daftar dalam catatan bulan sebelumnya. Para santri menunggu giliran di luar pintu kamar yang ditutup rapat, dan dijaga kakak mulahidz. Karena santri sekelas tidak selalu berdiam di kamar yang sama, maka sering taftisy digelar pada jam pelajaran yang diampu para wali kelas.
Catatan yang dimiliki wali kelas, akan dicek silang dengan catatan santri dan barang real time di lemari. Kalau ada barang menghilang dari lemari padahal ada dalam daftar, santri harus "memulangkan" ke lemari. Apa pun itu, hatta sebuah jarum jahit. Kecuali barang yang mudah rusak. Itu pun, si santri mesti menjelaskan kepada wali kelas, di mana barang rusak dimaksud. Di TMI, semua aset dan properti, sekecil jarum sekalipun, harus jelas status dan pertanggungjawabannya.
Terlebih, barang-barang "berharga" semacam buku dan materi pelajaran. Semua buku wajib, dan khulasoh sebagai buku pendamping, harus dibubuhi identitas, nama pemilik, misalnya. Jika ditemukan tercecer, dengan mudah akan kembali ke pemiliknya, sesuai nama di buku. Atau masuk barang "luqthoh." Barang ini biasanya dijejer di rak masjid Bayturrahman atau diumumkan oleh Qismul I'lam lewat i'lan ba'da isya.
Jika hingga tiga hari barang tidak diambil pemiliknya, Qismul I'lam akan menyerahkan kepada muraqqi--staf pendamping wali kelas. Di waktu murojaah, pemilik akan "disidang". Sanksi yang mendidik, seperti membuat insya atau menghafal sejumlah bait nadzoman, atau membuat khulasoh, akan dikenakan kepada pemilik buku yang tercecer. Jadi ! Jangan membayangkan, ada barang yang tidak kembali pada pemiliknya.
Di TMI, peran wali kelas sangat sentral dan menentukan. Melampaui tugas domestik di kelas. Mengambil peran orang tua. Setia setiap saat menerima curahan hati santrinya. Menemani selama 24 jam. Menjaga dan mengawasi waktu murojaah setiap malam. Bezoek saat sakit di mardha Qismus Shihhah. Bahkan, paham detail keuangan santri. Bagi mudir ma'had, para wali kelas adalah nara sumber utama soal santri. (*)
Saya adalah gambaran umum siswa-siswa sekolah berasrama di TMI Al Amien...
*) Ishaq Zubaedi Raqib
Staf Khusus Menteri Sosial RI
Eks Kepala Bagian Pengajaran TMI Al Amien
(nwk/nwk)