Prof Ir Felycia Edi Soetaredjo ST MPhil PhD IPU ASEAN Eng meraih penghargaan Anugerah Talenta Unggul Habibie Prize 2024 Bidang Ilmu Pengetahuan Dasar pada Senin (11/11/2024). Perempuan kelahiran 2 April 1977 ini tercatat sebagai penerima Habibie Prize 2024 termuda.
Guru Besar Universitas Katolik (Unika) Widya Mandala Surabaya (UKWMS) ini diganjar penghargaan iptek bergengsi atas kontribusinya pada Indonesia lewat penelitian pemanfaatan biomassa dan tanah liat untuk remediasi lingkungan air. Namun, Felycia muda bercita-cita menjadi dokter.
Kerja Sambilan untuk Biaya Kuliah
Felycia tumbuh besar dari ayah dan ibu yang menjual chinese food dari depot di Surabaya. Ia menuturkan, orang tuanya semula ingin ia lanjut pendidikan tinggi bidang bisnis atau ekonomi untuk meneruskan usaha orang tua.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, melihat nilai-nilai ekonominya semasa sekolah, Felycia merasa kuliah bisnis tak cocok untuknya. Penyuka pelajaran biologi ini pun ingin kuliah kedokteran dan menjadi dokter.
"Ya mohon maaf memang bukan talent saya ya. Kalau belajar sosial itu saya nggak bisa ngerti, nggak bisa menghafal. Nah itu akhirnya kalau setiap kali ulangan bidang-bidang sosial itu menyiksa. Jadi akhirnya saya nggak mau masuk bidang ekonomi," tuturnya pada detikEdu usai pemberian penghargaan di Auditorium Sumitro Djojohadikusumo, Gedung BJ Habibie, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Jakarta.
Menimbang kesukaannya pada pelajaran matematika, fisika, dan kimia, kakak sepupunya yang sebelumnya berkuliah di jurusan teknik kimia menyarankannya untuk mengambil jurusan yang sama. Ia pun memantapkan diri mendaftar ke S1 Teknik Kimia Unika Widya Mandala Surabaya.
"Teknik kimia itu belajar macam-macam proses, lebih diversif, dan ujung-ujungnya bisa ke industri, tapi ilmunya dasarnya di matematika, fisika, baru kimia. Akhirnya saya masuk teknik kimia. Setelah masuk, saya melihat teknik kimia seperti kedokterannya pabrik, karena di teknik kimia, ilmu-ilmu mendasarnya digunakan untuk semua proses di industri. Baik ke pangan, atau farmasi, pasti ada ilmu-ilmu dasar teknik kimia dimasukkan di sana, sehingga cabangnya lebih luas," jelasnya.
Agar dapat membiayai kuliah dan kebutuhan selama kuliah, Felycia pun mengajar siswa SMP dan SMA di Surabaya lewat les privat. Kampusnya juga memberikan opsi mengangsur uang sumbangan pendidikan (USP) hingga 10 kali.
"Saya bersyukur pada waktu itu Tuhan tolong sehingga di Widya Mandala, yang saat ini saya juga bekerja di sana, memberikan keringanan," ucapnya.
Menumbuhkan Kecintaan Anak pada Sains
Berangkat dari interaksinya dengan para siswa SMP dan SMA, keinginannya untuk menjadi dosen pun tumbuh. Ia mendapati dirinya bisa menularkan semangat pada siswa untuk senang belajar sains, hingga memilih sains pada pendidikan tinggi.
Dosen Teknik Kimia UKWMS ini mengatakan siswanya memang tak jarang takut memilih bidang sains untuk kuliah. Stigma sains sama dengan susah juga masih mengakar. Ia pun memanfaatkan interaksi informal di jam les untuk mengajar dengan cara storytelling ketimbang sekadar rumus. Felycia juga menjelaskan bentuk penerapan materi pelajaran kimia yang tengah dibahas pada kehidupan sehari-hari sehingga anak-anak diajak bernalar sambil mendengar ceritanya.
"85 Persen murid les saya akhirnya ngambil sains. Dan beberapa akhirnya sampai S3 di luar negeri," ucapnya.
Praktik tersebut juga ia bawa ke kelas-kelas kuliahnya di UKWMS.
"Teori dan rumus bisa dibaca di text book. Tetapi bagaimana itu diaplikasikan, bagaimana membuat mereka penasaran, mereka ingin tahunya tergugah, itu lewat cerita. Ada pertanyaan, saya ajak diskusi. Jadi mereka tahu manfaatnya sehari-hari apa, jadi suka, sehingga tidak hanya dituntut mengerjakan tugas dan bored," tuturnya.
Menjadi Periset
Lulus kuliah, kepemimpinan salah satu dosen dan peneliti menginspirasinya untuk terjun ke dunia riset. Baginya, menjadi periset menyenangkan karena terus menggali hal-hal baru dengan ujung yang belum diketahui.
"Menjawab suatu pertanyaan, menjawab suatu tantangan, menjawab suatu masalah, itu sewaktu kita bisa menghasilkan itu, kepuasan itu sesuatu. Dan itu seperti berputar terus. Jadi waktu misalnya, oh hasilnya seperti ini ya. Terus kalau begitu gimana ya? Kalau ada hal yang seperti ini gimana? Akhirnya selalu berproses," ucapnya.
Alhasil, pendidikan, penelitian, dan publikasi menjadi dunia Felycia. Untuk itu, mendapatkan Habibie Prize baginya menjadi sebuah kejutan.
"Senior-senior suruh apply, saya apply. Tapi tidak expect dapat," ucapnya.
Meneliti Lingkungan
Alumnus S2 University of Queensland ini semula ingin mengembangkan penelitian di bidang pangan, dengan alternatif bidang lingkungan. Namun, investasi komputer yang terlalu mahal membuatnya memutuskan untuk meneliti bidang lingkungan. Felycia menuturkan, ia terinspirasi sungai Australia yang sangat besar dan limbahnya.
"Dari situ saya juga akhirnya punya grup research ini yang besar, bagus. Saya jadi berpikir, pangan oke, tapi (bidang) lingkungan ini urgent. Kalau lingkungannya sehat, lingkungannya bagus, saya yakin produksi pangan pun juga nggak akan terganggu, kan," ucapnya.
Namun, kembali ke Indonesia, Felycia mendapati penelitian ilmu lingkungan belum membumi. Sementara ia butuh pendanaan, topik-topik yang mendapat hibah menurutnya kerap merupakan topik yang sedang trending dan prioritas.
Berangkat dari keadaan, ia pun mengarahkan penelitian biomassa untuk pengolahan air yang dapat diterapkan di masyarakat. Ke depannya, ia juga berencana untuk menerapkannya dalam budidaya kepiting dan udang.
"Jadi bagaimana mengolah airnya itu, supaya di lingkungan yang kecil yang kita buat, bisa berkembangnya jauh lebih banyak, lebih produktif. Lalu untuk airnya, nggak harus kasih dikasih air terus, tapi bagaimana caranya agar terus bisa dipakai," jelasnya.
Peraih PhD dari National Taiwan University of Science and Technology ini menuturkan, ia dan tim labnya antara lain berkolaborasi dengan Thailand dan Taiwan, dan BRIN.
"Labnya di Widya Mandala, alat-alat yang lebih advance ada di Taiwan. Saya juga bekerja sama dengan BRIN, di pusat riset yang membidangi riset limbah berkelanjutan. BRIN juga memberikan fasilitas untuk analisis dan sebagainya, itu bisa kita kirim ke sana," ucapnya.
"Dulu, sebelum BRIN berdiri, sebelum labnya tersetup, kita kan nggak tahu mau ke mana. Jadi kita kolaborasi dengan Taiwan, sehingga publikasinya bersama dengan mereka juga," imbuhnya.
Felycia berharap hasil penelitiannya bisa langsung menjawab masalah masyarakat.
"Lebih suka kalau ke masyarakat langsung. Kalau misalnya negara melihat itu berguna dan sebagainya, ya monggo," ucapnya.
(twu/nwy)