Dunia perfilman baik secara global ataupun lokal tampaknya tidak bisa lepas dari film dengan genre horor. Masyarakat selalu menunjukkan antusiasme yang sangat tinggi.
Beberapa judul film horor bahkan masuk dalam daftar film terlaris sepanjang masa. Sebut saja KKN di Desa Penari yang meraih peringkat pertama dengan jumlah 10.061.033 penonton, dikutip dari CNN Indonesia.
Di dalam daftar ini ada Pengabdi Setan 2: Communion dengan 6.391.982 penonton dan Pengabdi Setan dengan 4.206.103 penonton. Pada tahun 2024 juga ada film horor dengan sentuhan komedi masuk ke dalam daftar yakni Agak Laen yang mampu membalap Pengabdi Setan 1 & 2 dengan 9.125.188 penonton.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, mengapa horor sangat diminati masyarakat Indonesia? Menjawab hal ini, dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Airlangga (Unair), Igak Satrya Wibawa Ssos MCA PhD menjelaskan ada beberapa faktor lain yang membuat film genre horor sangat diminati masyarakat.
Faktor penyumbang terbesar nyatanya hadir di aspek lain di luar narasi film, yakni pemasaran atau promosi masif yang mampu sebuah film menarik perhatian bahkan sebelum dirilis.
"Sebagai contoh, film KKN Desa Penari yang ceritanya sudah viral dulu di media sosial. Bisa dibilang promosi yang masif juga memberikan efek positif, bahkan sebelum film itu dirilis," katanya dikutip dari rilis di laman resmi Unair, Rabu (26/6/2024).
Mampu Membangkitkan Adrenalin Penonton
Bila melihat sisi narasi, film horor mampu diterima masyarakat karena memiliki jalan cerita yang relatif sederhana. Namun karena kerap menampilkan penampakkan hantu, film horor mampu mendorong adrenalin penontonnya.
"Masyarakat cenderung ingin mencari sensasi kaget atau takut yang dialami saat menonton film horor," tuturnya.
Pada beberapa waktu ke belakang, publik Indonesia digemparkan dengan film Vina: Sebelum 7 Hari yang menjadi pemantik terbongkarnya kasus pembunuhan sosok Vina seorang warga Cirebon pada tahun 2016 silam. Tenggelam hampir 10 tahun, kasus Vina kembali ramai diperbincangkan lantaran pelaku utama belum berhasil tertangkap.
Perkembangan terbaru, pihak kepolisian menangkap terduga pelaku utama dan kini sudah ada di dalam bui. Terkait hal ini, Igak tegas menyatakan kurang setuju bila film dinilai bisa membantu mengusut kasus kriminal.
"Selesai atau tidaknya sebuah kasus itu bukan peran film, tetapi kepolisian. Walaupun demikian, film 'Vina' bisa membantu mengangkat kembali isu kriminal yang belum terselesaikan," tambahnya.
Bukan peran film semata, kasus pembunuhan yang melibatkan anggota geng motor itu bisa kembali dibicarakan karena viral culture atau budaya viral di Indonesia. Viral culture adalah kejadian ketika pemerintah cenderung bertindak kalau kasusnya viral terlebih dahulu di media sosial.
Nyatanya tidak hanya film Vina: Sebelum 7 Hari yang mengangkat kasus kejahatan di Indonesia. Sebut saja Sum Kuning, Ari Hanggara, dan Marsinah.
Namun, ketiganya dirilis saat penggunaan media sosial tidak semasif sekarang. Sehingga bisa dipastikan bila media sosial punya peran besar dalam membentuk antusiasme hingga perilaku masyarakat.
"Antusiasme masyarakat yang tinggi terhadap cerita horor di media sosial mendorong rumah produksi untuk menjadikannya film. Ke depannya, viral culture akan menjadi kontributor yang signifikan untuk memproduksi film di Indonesia," pungkasnya.
(det/nah)