Meraih gelar doktor atau S3 di usia yang muda bukanlah hal mudah. Perlu kegigihan dan semangat tinggi, seperti yang dilakukan oleh Nila Armelia Windasari.
Perempuan yang akrab disapa Nila ini telah meraih gelar Doctor of Philosophy (PhD) saat usianya 27 tahun. Kini, ia adalah pengajar atau dosen di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Seperti dilansir dari laman ITB, Nila mengatakan dirinya selalu mengambil langkah cepat saat menempuh studi. Misalnya saat SMA ia mengambil program akselerasi dan mampu menyelesaikan S1 di Universitas Airlangga dalam 7 semester.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu, pada 2013 Nila pindah ke Taiwan untuk melanjutkan studi magister dalam tiga semester di Asia University. Tak berhenti di situ, ia lanjut S3 di National Tsing Hua University, Hsinchu, Taiwan berbekal beasiswa LPDP.
Tantangan Jadi Dosen Muda
Menjadi dosen adalah profesi yang tidak asing di keluarga Nila. Sang kakek dan orang tua adalah dosen, serta mertuanya juga merupakan pengajar.
Namun, sebagai dosen muda Nila pun merasakan tantangannya sendiri saat mengajar. Terlebih saat ia harus mengajar di Sekolah Bisnis Manajemen (SBM) ITB.
"Terutama ketika di SBM dan di level postgraduate, dari diskusi di kelas, saya belajar sesuatu dari mereka, dari pengalaman dan praktik mereka yang tentu industrinya bervariasi. Dan ketika bisa membantu mereka untuk belajar lebih dalam, buat saya itu rewarding," katanya dilansir dari laman ITB, Sabtu (4/5/2024).
Sebelumnya, pada 2018 Nila pernah mengajar selama empat tahun di Universitas Terbuka Indonesia, Taiwan. Sehingga, di usianya yang masih 27 tahun ia telah punya pengalaman mengajar beratus-ratus mahasiswa.
Dari jam terbangnya dalam mengajar, Nila mengaku hal menantang lainnya adalah dalam membimbing mahasiswa. Di program MBA sendiri, Nila harus mengajarkan mahasiswa untuk bisa problem solving tidak hanya hypothetical.
"Tesis di MBA itu problem solving yang riil, bukan hanya hypothetical. Itu permasalahan yang riil dari perusahaan yang mereka bawa. Penting bagi mereka untuk betul-betul bukan hanya selesai tapi masalahnya solved," tuturnya.
Ia tak segan harus menyuruh mahasiswa melakukan revisi berulang-ulang. Menurutnya, mahasiswa tak boleh hanya sekadar ingin lulus tetapi harus mengerti penyelesaian masalah terhadap topik yang tesis yang dibuat.
"Itu menunjukkan kompleksitas per masalah yang dibawa mahasiswa. Ketika dia berhasil memecahkan, itu adalah achievement buat dia, bukan hanya untuk saya. Jadi, tidak hanya sebuah pertanda bahwa tugas akhir itu diselesaikan, tapi bahwa per masalah riil itu bisa dia selesaikan dan bisa diaplikasikan, buat saya itu penting," pungkasnya.
Salah satu mahasiswa yang dibimbing Nila di program MBA adalah Tirta Mandiri Hudhi atau yang lebih dikenal dengan nama dr Tirta. Dr. Tirta mengaku terkesan dengan cara Nila mengajar.
"Saya paling berkesan dengan Bu Nila. Bu Nila adalah dosen pembimbing saya sekaligus guru saya di semester satu. Beliau itu membuat saya revisi total sampai belasan kali. Tapi revisi itu tercermin baik di hasil ujiannya, saya bisa bagus. Bu Nila sempat ber-statement bahwa final project itu merupakan awal karena ke depannya job saya as a consultant dan pengusaha sering relate dengan tesis saya, yaitu dengan marketing analysis," ujar dr. Tirta seperti dikutip dari laman ITB.
Ia melanjutkan, "Apa yang disampaikan oleh Bu Nila itu bukan hanya di bidang pendidikan saja, tetapi juga sangat bermanfaat bagi bisnis saya. Saya sering konsul juga masalah ke beliau, itung-itung konsul gratis."
(cyu/pal)