Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji mengatakan bahwa gagasan dari para capres-cawapres 2024 belum bisa menjawab tiga permasalahan utama pendidikan di Indonesia saat ini.
"Menurut kami tidak ada satu pun dari visi misi semua pasangan ini yang secara mendasar itu adalah menjawab atas tantangan pendidikan pada hari ini," katanya dalam diskusi Bedah Gagasan Capres atas Persoalan Pendidikan yang disiarkan langsung pada Youtube Sahabat ICW, Jumat (2/2/2024).
Dalam diskusi yang digelar oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dan JPPI tersebut, Ubaid mengatakan ada tiga isu penting pendidikan di tanah air. Ketiganya yakni sistem pembayaran sekolah/kuliah, angka putus sekolah yang masih tinggi, dan masalah kualitas serta gaji guru yang belum layak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ubaid menyorot kasus mahasiswa bayar kuliah menggunakan pinjol yang kini tengah hangat diperbincangkan. Menurutnya, kasus tersebut menandakan pemerintah belum menjamin hak pelajar, sebagaimana diamanatkan Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945.
"Misalnya hari ini sudah sekitar satu minggu lebih mahasiswa ITB itu demo setiap hari, mereka merasa bahwa UKT-nya itu ketinggian sampai kemudian mahasiswa dipaksa untuk berhubungan dengan pinjol dan tidak sedikit, ada ratusan mahasiswa ITB yang sudah gagal bayar," jelasnya.
Kemudian, Ubaid menyinggung perihal program wajib belajar 12 tahun yang tidak memenuhi target. Ia menguraikan angka putus sekolah di Indonesia saat ini rata-rata terjadi pada tahun ke-8 menempuh pendidikan.
"Apakah ada capres-cawapres yang membicarakan soal ini? Itu yang pertama. Kemudian yang kedua di level pendidikan dasar dan menengah, sejak tahun 2012 dalam RPJMN, dalam kebijakan Kemendikbud dan kebijakan presiden, kita ini sudah beralih dari 9 tahun ke wajib belajar 12 tahun," terang Ubaid.
Realisasi Kebijakan Para Paslon Masih Gagal
Dalam menilai gagasan para capres-cawapres Ubaid membedah kebijakan-kebijakan yang telah mereka terapkan di instansi mereka bertugas. Ia menyebut, seperti yang terjadi di DKI Jakarta, angka putus sekolah masih menjadi tertinggi di Indonesia.
"DKI Jakarta adalah kota dengan anggaran pendidikan terbesar di Indonesia. Akan tetapi, DKI Jakarta menyandang predikat kota dengan angka putus sekolah dasar tertinggi di Indonesia," bebernya.
Berdasarkan data Kemendikbud, DKI Jakarta menjadi provinsi dengan angka putus sekolah SD tertinggi yakni mencapai 0,69%. Angka ini cukup jomplang dengan urutan provinsi ke-2 yakni Kalimantan Utara, dengan angka putus sekolah sebesar 0,42%.
Lebih lanjut, Ubaid juga melihat tingkat putus sekolah di Jawa Tengah cukup tinggi. Selain itu, literasi anak di daerah yang dipimpin paslon nomor urut 2 dan 3 tersebut pun masih rendah.
"Baik pasangan no 2 atau no 3 ini adalah orang-orang yang terlibat dalam kebijakan pendidikan di Jawa Tengah. Ini juga sama tingkat literasi di Jateng, angka putus sekolah di Jateng masih tergolong sangat tinggi," katanya.
Masalah Kualitas Guru-Kekerasan Seksual di Sekolah
Ubaid mengatakan JPPI hingga saat ini masih menyorot masalah kualitas guru dan gaji guru yang masih rendah. Menurutnya, gagasan dari para paslon belum ada yang mengurai masalah yang dihadapi guru saat ini.
"Dari gagasan para paslon, tidak ada satu pun gagasan yang bisa mengurai problem yang dihadapi guru saat ini," kata Ubaid.
"Ini gara-gara anak-anak enggak minum susu? Atau gara-gara gaji guru rendah? Atau gara-gara enggak ada wajib belajar 12 tahun? Kan enggak?," sambungnya.
Ubaid bersama JPPI juga menyoroti masalah kekerasan di satuan pendidikan yang sampai hari ini masih banyak terjadi. Ia melihat aksi pemberantasan kekerasan di sekolah belum banyak dilakukan di sektor pemerintah daerah, melainkan baru di tingkat satuan pendidikan.
"Baik di Jakarta, Solo, dan Jawa Tengah belum ada Satgas TPPK di level provinsi," terang Ubaid.
"Itulah tiga catatan penting untuk paslon dan satu hal menurut saya yang sedang ramai diberitakan media massa soal tren angka kekerasan di sekolah khususnya kekerasan seksual," pungkasnya.
(cyu/nwk)