ESG Expert and Chair Person of Advisory Board Social Investment Indonesia, Jalal menegaskan sektor bisnis merupakan sektor yang menjadi perantara masalah terhadap lingkungan. Ia menyebutkan berdasar dari literasi yang dibacanya, di tahun 2070 kehidupan akan dilanda bahaya kerusakan lingkungan.
"Ancaman eksistensial seperti itu, 40 tahun lagi hidup kita akan berantakan itu hanya bisa beres kalau kita tobat. Dan siapa yang harus tobat? Paling besar hal ini harus datang dari sektor bisnis. Kenapa sektor bisnis harus yang paling tobat, karena dia yang paling powerfull," ucapnya di ESG Award SBM ITB, Jakarta (18/1/2024).
Jalal mengungkapkan semestinya bisnis yang baik adalah bisnis yang restoratif dan regeneratif yaitu bukan hanya meraup keuntungan dengan merusak saja tetapi juga harus bisa memperbaiki dan mempersiapkan semua hal untuk generasi yang akan datang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Terus kalau kita lihat 100 ekonomi terbesar, sekarang 68-nya itu perusahaan. Jadi yang bikin masalah atau jadi perantara masalah adalah perusahaan. Bisnis itu harus restoratif, lebih jauhnya bisnis itu harus regeneratif. Jadi ceritanya, pertobatan itu bukan hanya berhenti merusak tapi kita harus betulin sesuai dengan apa yang bakal dihadapi oleh generasi mendatang, regenerasi," imbuhnya.
Dirinya juga mengambil satu definisi terkait tujuan dari bisnis, bukan hanya mendapatkan profit dari membuat masalah tetapi mendapatkan keuntungan dari hasil menyelesaikan masalah. Inilah yang ia tekankan untuk bisa menyelamatkan lingkungan di masa depan juga untuk menimbulkan ekonomi yang berkelanjutan.
"Bisnis itu tujuannya adalah menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dan lingkungan secara menguntungkan dan bukan mendapatkan keuntungan dari membuat masalah. Dan bikin keuntungan dari bikin masalah mah gampang. Tapi gimana caranya bikin keuntungan dengan menyelesaikan masalah," tegas Jalal.
Adapun Dosen SBM ITB sekaligus Ketua ESG Award Melia Famiola menjelaskan dari Sustainable Development Goals yang dicanangkan di 2015 dan harus tercapai di tahun 2030. Tinggal enam tahun lagi waktu yang bisa dimaksimalkan. Mengingat ia menyebut dari roadmap yang dijelaskan keadaannya sulit untuk mencapai target yang ada.
Tetapi ia optimis setidaknya melakukan perubahan yang maksimal dengan cara memupuk sumber daya manusia yang memiliki kapabilitas tinggi untuk bisa meneruskan pembangunan yang berkelanjutan.
"Kita ingin paling tidak melakukan progres yang signifikan, masih ada waktu enam tahun. Dan kita harus mulai mempersiapkan orang-orang yang akan bekerja untuk hal itu," terang Melia.
Sebagai informasi, SBM ITB juga menggelar ESG Award 2024 yang bertujuan untuk memberikan apresiasi kepada lembaga dan juga individu dalam dedikasinya memberikan inovasi yang berdampak bagi ekonomi di masa depan yang berkelanjutan. Selain itu tentunya juga memiliki dampak signifikan untuk sosial serta lingkungan.
Kemudian pada kegiatan tersebut, SBM ITB tak hanya sekadar memberikan Anugerah Avirama Nawasena saja. Tetapi juga mengadakan talkshow dengan tajuk 'Education for Sustainable Development: Role and Strategy of Business School Innovation in ESG, Implementation, and Best Practice'.
(anl/ega)