Para Perempuan Ini Bicara Tantangan S3 Sebelum dan Sesudah Menikah, Apa Saja?

ADVERTISEMENT

Para Perempuan Ini Bicara Tantangan S3 Sebelum dan Sesudah Menikah, Apa Saja?

Devita Savitri - detikEdu
Sabtu, 23 Des 2023 19:00 WIB
Ilustrasi Hijab Wisuda
Ilustrasi perempuan berkuliah S3. Foto: Istock
Jakarta -

Melanjutkan studi tingkat lanjut baik magister ataupun doktoral adalah sebuah pilihan dan kesempatan yang sama-sama dimiliki perempuan ataupun laki-laki. Meski begitu, perempuan memiliki tantangan tersendiri ketika melaluinya loh.

Mereka yang menjalani studi lanjut S2/S3 sebelum dan sesudah menikah merasakan perbedaan yang signifikan. Terutama tentang waktu pembelajaran yang semakin lama semakin menipis.

Lalu apa perbedaan lain dalam menjalani studi S3? Begini penjelasan selengkapnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perbedaan S3 Sebelum dan Sesudah Menikah

Sebelum Menikah

Farahdiba Rahma Bachtiar, Dosen UIN Alauddin Makassar menjelaskan dalam menjalani studi S3 hal paling penting yang harus dimiliki mahasiswa adalah support system. Hal ini ia rasakan secara nyata dalam proses studinya.

"Tantangan PhD adalah bahwa support system itu matters (penting). Karena aku sendiri waktu menjalaninya single. Jadi aku tidak merasa mendapatkan support system yang cukup karena dijalani sendiri," ujarnya dalam bicang di Instagram Live OptShe dan PhD Mama Indonesia "Mengejar PhD vs Keluarga: Emang Boleh Sedilema Ini?" pada Sabtu (23/12/2023).

ADVERTISEMENT

Baginya mengejar gelar PhD adalah sebuah perjalanan yang panjang terlebih bila dilakukan di luar negeri. Tak seperti studi S1, di mana kita masih punya banyak teman, S3 terasa berbeda bagi Diba.

"Nggak ada teman curhatnya, nggak ada yang kalau pulang (ada) teman untuk keluh kesah. Jadi berasa kayak lonely, mempertanyakan apa yang dijalani benar atau tidak ya, PhD itu nanti untuk apa ya," tambahnya.

Meski begitu, Diba menjelaskan kita tidak boleh terlarut dalam perasaan tersebut. Bila detikers berkuliah di luar negeri, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah bertemu dengan rekan dari satu negara.

Selama studinya di Australia, Diba bertemu dengan teman-teman dari PhD Mama Indonesia. Dari sana ia ikut dikuatkan, di dengarkan keluh kesahnya sehingga memiliki support system lain meski bukan suami.

"Walau bukan suami tapi time for someone to get on ya ke mereka. Itu rasanya kalau PhD sebelum menikah," ungkap Diba.

Sesudah Menikah

Berbeda dengan Diba, Hani Yulindrasari Pakar Psikologi Gender, dosen, dan Ketua Satuan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menjelaskan sisi menjalani S3 ketika berkeluarga.

Hani menjelaskan ia memilih melanjutkan studi S3 di The University of Melbourne, Australia. Dengan dukungan dari suami, ia membawa keluarga kecilnya menjalani pengalaman panjang studi doktoral.

Karena anak-anaknya masih berusia balita, ia sempat merasa bila statusnya berbeda dengan mahasiswa S3 lainnya.

"Saya itu sebetulnya part-time PhD student dan full-time mom. Artinya, dari bangun tidur itu ngurusin anak, rumah, dan sebagainya," ujar Hani.

Tak melepaskan perannya sebagai ibu dan istri, tak jarang membuatnya kehilangan waktu untuk tidur. Waktu malam hari digunakannya untuk mengejar studi S3 di bidang gender and development.

"Kadang-kadang saya kurang tidur karena begadang. Saya itu baru bisa belajar jam 9 malam setelah anak tidur. Jam 9 sampai jam 4 pagi saya belajar. Jadi tidurnya setelah jam 4 pagi, bangun jam 6 dan kembali mengurus anak," tambahnya.

Hal ini menurut Hani sangat berbeda dengan keadaannya kala menempuh gelar magister ketika ia masih sendiri dan belum menikah. Pada masa itu, sebagian besar waktunya dihabiskan di kampus dan mempelajari berbagai ilmu baru.

Tapi, saat S3 ia merasa ilmu yang didapatkannya sedikit. Tetapi ilmu lain menjadi ibu sangatlah berkembang.

Perasaan itu sempat membuatnya sedih dan down. Sehingga support system sangat dibutuhkan pada proses ini menurutnya.

"Ketika saya sangat down itu anak-anak dan suami menjadi number one supporter. Mereka yang meluk, bilang 'dont give up mum, jangan nyerah kalau capek bilang aja tell your teacher that you're tired. You can take a break mum'," tambahnya.

Dari semangat yang diberikan anak-anak dan suami menurut Hani menjadi kekuatan paling besar sehingga membuatnya menyelesaikan studi.

Studi S3 Tanpa Keluarga

Namun bagaimana dengan mereka yang tidak bisa membawa keluarga ke luar negeri tapi harus melanjutkan studi S3? Kanti, Founder PhD Mama Indonesia menjelaskan tak sedikit perempuan yang turut merasakan hal ini.

Menurutnya cara terampuh bagi perempuan yang sudah menikah dan ingin melanjutkan studi S3 di luar negeri adalah mencari info sebanyak-banyaknya. Terutama tentang negara tujuan dan beasiswa penunjang.

"Cari beasiswa dan negara tujuan yang menyediakan layanan penitipan anak dan ramah keluarga. Salah satunya Australia," ungkapnya.

Ia menegaskan tidak semua beasiswa memberikan manfaat yang ramah bagi mahasiswa sudah menikah. Seringkali ia menemukan bila meskipun tujuan negaranya sama dan ramah anak, pengalamannya tetap beda-beda karena memiliki beasiswa yang berbeda juga.

Nah itulah perbedaan menjalankan studi S3 di luar negeri bagi yang sudah menikah dan belum menikah. Semoga menjadi inspirasi bagi detikers yang akan melanjutkan pendidikan ke jenjang pascasarjana ya!




(det/nwk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads