Galih Sulistyaningra meyakini, menjadi guru SD butuh pengetahuan luas untuk menghadirkan pendidikan berkeadilan sejak anak-anak. Pemikiran ini memantapkan lulusan S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Negeri Jakarta tersebut lanjut studi S2 di University College London (UCL), kampus terbaik ke-9 di dunia versi QS World University Rankings 2024.
Bagi Galih, ketimpangan kualitas pendidikan, literasi, dan pedagogi kritis mendorongnya untuk lanjut kuliah. Di UCL, Galih mengambil S2 Education Planning, Economics, and International Development dengan beasiswa LPDP pada 2018.
"Saya disadarkan kalau ternyata kita itu selama belajar di sekolah ada satu gaya belajar yang seharusnya tidak dilakukan. Mungkin ini jadi salah satu dosa besar para pendidik di zaman dulu gitu ya," ujar Galih, dikutip dari laman LPDP Kemenkeu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Memantapkan Keputusan Lanjut Kuliah
Galih sendiri hidup dan dibesarkan dari keluarga besar guru. Ia sendiri mengaku semula enggan menggeluti profesi ini. Namun, jalan hidupnya mengantarkan Galih sebagai pendidik di lembaga pendidikan bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM) saat menunggu wisuda UNJ.
Di pekerjaannya pertamanya tersebut, Galih mengajar anak-anak berlatar ekonomi kelas menengah atas yang cakap berbahasa Inggris dalam kurikulum berstandar Amerika Serikat. Pengalaman mengajar di sekolah-sekolah taraf internasional Jakarta memantik keresahannya atas ketimpangan akses ke pendidikan berkualitas.
Keresahan ini memantik Galih untuk mempelajari lebih jauh tentang kebijakan dan perencanaan pendidikan yang dapat bermanfaat bagi perkembangan siswa maupun pertumbuhan ekonomi negara. Proses belajar ini mendorongnya untuk belajar secara formal di jenjang S2 pendidikan tinggi.
Guru SD Petojo Utara, DKI Jakarta ini menuturkan, keinginannya semula mendapat tentangan dari keluarga yang berharap ia fokus menjadi guru PNS. Namun, ia kukuh mendaftar kuliah dengan beasiswa untuk membekali diri dengan lebih banyak pengetahuan.
Ia menekankan, pendidikan beririsan dengan keadilan sosial, pemenuhan hak asasi manusia, dan perdamaian, di samping ekonomi dan kesehatan.
"Jadi udah kepikiran apa yang mau dilakukan, sehingga sepertinya itu yang kemudian memudahkan juga jalan untuk bisa diterima beasiswa LPDP," tuturnya.
Belajar Kontekstualisasi, Literasi, hingga Regulasi Emosi di Kelas
Mulai kuliah di London pada 2018, Galih mendapati dirinya belajar tentang kontekstualisasi. Ia belajar bahwa tiap negara punya masalah masing-masing, sehingga formulasi penanganannya juga berbeda-beda.
Galih mendapati, literasi juga penting untuk memajukan siswa dengan pendidikan. Ia menuturkan, mudahnya mendapatkan buku di ruang publik di Inggris membantu siswa punya budaya membaca. Orang tua di rumah juga punya tradisi membaca dengan anak-anak.
Ia mengamini, tidak adil membandingkan negara-negara di dunia. Namun, kebiasaan membaca memudahkan seorang anak terpapar dengan berbagai kosa kata baru, kalimat, dan sudut pandang baru, baik dari buku fiksi maupun nonfiksi.
Wawasan dan informasi dari bacaan menurutnya bantu anak-anak lebih mudah berargumen di depan umum. Kemampuan ini sejalan dengan karakter bernalar kritis di Profil Pelajar Pancasila. Namun, ia menggarisbawahi, perlu kualitas pendidikan yang juga baik dan kemauan mandiri untuk mengembangkan diri serta membaca buku.
"Bernalar kritis itu erat hubungannya dengan literasi. Guru-guru juga perlu punya literatur yang banyak, perlu punya perbandingan teori pendidikan, metode pendidikan, dan sebagainya yang mana menurut saya, bukannya S1 itu tidak cukup, tapi ketika kita punya pengalaman S2. Di sana kita belajar untuk bisa memformulasikan opini" kata Galih.
Wawasan dan pengetahuan guru menurutnya juga penting untuk bantu memahami anak dan mengenalkannya pada isu emosi dan kekerasan. Gagalnya identifikasi masalah emosi dan kekerasan dan pengenalannya pada anak bagi Galih jadi asal-usul bullying, diskriminasi, dan kekerasan pada anak yang kian tinggi.
"Jadi pertama, mengenali dan mengidentifikasi emosi, lalu yang kedua, bagaimana kemudian mengolah emosi, khususnya emosi-emosi negatif, itu seperti apa," kata Galih.
"Dan yang ketiga, saya juga mengenalkan jenis-jenis kekerasan. Sehingga juga mereka paham bahwa tidak semua candaan yang mereka anggap lucu itu dianggap lucu oleh orang lain, bisa jadi itu menyakitkan. Dan itu ada hubungannya juga dengan regulasi emosi," tuturnya tentang ilmu yang diterapkan di kelasnya.
Bentuk Komunitas buat Calon Guru dan Guru Muda
Galih kini tercatat sebagai guru SD sejak 2020. Di samping itu, ia juga tercatat sebagai penulis modul peningkatan pengajaran literasi numerasi untuk Program Organisasi Penggerak Kemendikbudristek. Galih juga menjadi penyusun Capaian Pembelajaran Bahasa Inggris, dan terlibat di beberapa program lainnya lagi.
Di Tanah Air, Galih mendirikan komunitas Bekal Pendidik bagi calon guru atau guru-guru muda sejawat sejak pandemi. Para anggotanya mengaktualisasi diri dan mengulik isu pendidikan terkini hingga dapat didengar pemangku kebijakan.
Komunitas ini berkembang menjadi platform mentorship beasiswa khusus bagi lulusan S1 pendidikan yang ingin lanjut S2 pendidikan. Para pengisi materi di komunitas Bekal Pendidikan antara lain pihak Kemendikbudristek, dosen, antropolog, dan lainnya. Para peserta belajar tentang Merdeka Belajar sampai persiapan beasiswa.
"Seperti paradigma tentang Merdeka Belajar itu seperti apa, filosofi-filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara itu bagaimana, dan banyak sekali teori maupun metode pendidikan yang menurut saya justru saya pelajari itu bukan di Indonesia. Itu jadi satu kekhawatiran dan keresahan yang menurut saya menggugah untuk bisa saya tularkan ke teman-teman calon pendidik," kata Galih.
(twu/twu)