Secara fisik penampilan Rahadian Sakti Pradana, 25 tahun, tak berbeda dengan pemuda pada umumnya. Posturnya tinggi, gagah, hitam manis. Pipinya yang chubby membuat dia terlihat gemoy. Hanya saja saat bercakap-cakap dia biasa membuat jeda sebelum memberikan respons lawan bicaranya. Hal ini dapat dipahami mengingat Rian, begitu dia bisa disapa, adalah individu autistik. Toh begitu, prestasi akademisnya sangat membanggakan.
Sejak 1 September 2022, putra kedua Nita Yanuarita Taslian itu tercatat sebagai mahasiswa pascasarjana (S-2) di Jurusan Pendidikan Khusus di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung. "Saya ingin menjadi pembimbing untuk penyandang disabilitas autism," kata Rian saat berbincang dengan detikedu di sebuah kedai kopi di Bandung Timur, Minggu (19/11/2023) kemarin.
Untuk program sarjana, Rahadian Sakti Pradana meraihnya dari Jurusan Bahasa Mandarin Fakultas Budaya Universitas Padjadjaran, Maret 2022. Alasannya, Bahasa Mandarin menjadi yang terbanyak kedua digunakan di dunia. "Saya masuk lewat jalur mandiri. Tadinya saya mau ambil Bahasa Jepang karena sejak SMA sudah diajarkan. Sekarang untuk (Bahasa) Jepang saya otodidak saja," tutur Rian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Begitu lulus dari sebuah SMA inklusif, menurut Nita, tiba-tiba puteranya menyatakan ingin kuliah. Padahal baginya lulus SMA saja sudah membuatnya bangga. Untuk memastikan kesungguhan dan potensi akademis untuk mengikuti perkuliahan, Nita membawa Rian untuk menjalani assesmen psikologi. Ia tak menyampaikan ke penguji bahwa putranya itu adalah individu autistik.
"Hasilnya, Rian diketahui punya kemampuan lebih di bidang Bahasa. Psikolognya kemudian paham bahwa dia adalah individu spesial," kata Nita.
![]() |
Selama perbincangan, Rian sempat memamerkan kemampuannya berbicara dalam Bahasa Mandarin. "Ni hao ma" (apa kabar?), "Wo ai ni" (saya cinta kamu), atau "Wo xiang he qiaokeli" (saya suka minum cokelat). Kalimat-kalimat pendek dalam Bahasa Mandarin, kata Rian, biasa ia gunakan saat dirinya menjadi pembicara di forum-forum seminar. Hal itu sengaja dilakukan untuk meyakinkan hadirin bahwa dirinya memang sarjana yang mempelajari Bahasa Mandarin.
Sejak kelas 8 (SMP) Rian mulai diminta menjadi pembicara atau berbagai pengalaman sebagai individu autistik. Penggemar cokelat dan film animasi Disney itu juga pernah magang di Komisi Disabilitas Nasional. Setiap kali menjadi pembicara, Rian mengaku menerima honor antara Rp 500 ribu hingga lebih dari satu juta. "Uangnya saya tabung," ujarnya.
Kini Rahadian Sakti Pradana tengah menyiapkan tesis bertajuk, "Dukungan keluarga terhadap anak atau individu autistik". Andai kelak sudah lulus, dia tak menutup kemungkinan untuk melanjutkan ke jenjang doktoral. Tak cuma di kampus dalam negeri, Rian berharap dapat menempuhnya di kampus luar negeri.
(jat/nwy)