Pada 1999, Jatna menerima penghargaan Golden Ark Award dari Pangeran Bernhard asal Belanda. Prof. Jatna dianggap telah berjasa dan berkontribusi besar terhadap lingkungan hidup, terutama di bidang konservasi alam.
Setelah itu, beragam penghargaan terus berdatangan, di antaranya Habibie Award (2008), Terry MacManus Award (2010), Achmad Bakrie Awards (2011), Lifetime Achievement from Conservation International (2017), dan yang terbaru The Bosscha Medal 2023.
Kecintaannya terhadap alam mulai tumbuh di bangku SMA. Saat itu, ia senang sekali mendaki gunung dan berkemah.
Kecintaan Terhadap Alam Tumbuh Saat Remaja
Prof Jatna menghabiskan masa mudanya di Tasikmalaya. Bentang alamnya yang luas mendukung untuk menjelajahi gunung-gunung yang ada di daerah Jawa Barat.
Dari situlah ketertarikannya pada keilmuan alam muncul. Jatna pun mantap memilih biologi sebagai bidang keilmuan yang digeluti.
Riset Orang Utan Saat Jenjang Sarjana
Prof. Jatna mendapat kesempatan untuk melakukan riset tentang orang utan di Kalimantan. Pria yang saat itu tengah menempuh pendidikan sarjana, tinggal bersama peneliti selama delapan bulan di tengah hutan.
"Tempat penelitiannya jauh sekali, ada di tengah hutan. Untuk menuju kampung, butuh waktu kira-kira 1 jam perjalanan dengan perahu. Tapi, itulah yang membuat saya jatuh cinta pada bidang ini. Dari pengalaman itu, saya belajar banyak mengenai hutan, mengenai penduduk asli orang dayak, dan masih banyak lagi," ujarnya dalam laman UI dikutip Selasa (14/11/2023).
Dapat Banyak Tawaran di Bidang Zoology
Kecintaannya pada bidang zoology semakin dalam. Saat itulah kesempatan lain mulai terbuka.
Prof. Jatna bergabung dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan terlibat dalam penelitian di Sulawesi, Papua, Sumatera, dan Kalimantan. Ia juga mendapat tawaran untuk mengajar di Departemen Biologi FMIPA UI yang berlangsung hingga saat ini.
Jatna juga mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan master di Amerika Selatan. Ia melakukan riset selama berbulan-bulan di Hutan Amazon. Sementara itu, untuk program doktornya, ia memilih melakukan riset di Sulawesi bersama para mahasiswanya.
"Primatology saat itu adalah bidang yang masih jarang ditekuni, sehingga saya lebih banyak melakukan kajian ke luar negeri untuk memperoleh ilmu tentang primata. Wild life conservation atau konservasi hewan liar yang saya pelajari meliputi orang utan, lutung, monyet, dan berbagai spesies lainnya. Saat ini, ilmu itu lebih dikenal dengan istilah biologi konservasi," kata Prof. Jatna.
Kunjungi 70 Negara
Dalam upaya mengkaji konservasi alam, Prof. Jatna telah mengunjungi hingga 70 negara. Menurutnya, relasi dengan peneliti di universitas terbaik dunia perlu dijalin mengingat pentingnya riset bersama sebagai solusi atas permasalahan biodiversitas.
"Saya pernah pergi ke Bogota di Kolombia. Saya diminta untuk memberi materi tentang biodiversitas Indonesia. Saya bilang boleh, tapi fasilitasi saya untuk datang ke taman-taman nasional di sana," ujar Prof. Jatna sambil tertawa.
Potensi Konservasi Alam
Prof. Jatna menyebut bahwa upaya konservasi ini bisa mendatangkan uang. Taman Nasional yang dibangun dapat dijadikan ecotourism yang dapat mendatangkan peluang ekonomi pariwisata masyarakat setempat.
"Potensi Indonesia untuk karbon sekitar 600 billion dollars. Bayangkan, kalau kita konservasi, yang kita jual bukan kayu dan sebagainya, tetapi daya serap hutan kita atas karbon. Sekarang harga karbon sudah 10-20 dollar/ton," ujarnya.
Ide-ide terkait konservasi alam dituangkan oleh Prof. Jatna dalam 20 buku mengenai lingkungan dan konservasi dan lebih dari 150 paper bereputasi internasional. Bahkan nama Prof. Jatna telah dijadikan sebagai takson untuk beberapa spesies, di antaranya, Tarsius supriatnai, Draco supriatnai, dan Cyrtodactylus jatnai.
(nir/nwy)