Kisah pasangan ini bermula dari perkuliahan di Universitas Gadjah Mada (UGM). Tak ada yang menyangka, bertahun-tahun kemudian, mereka akan dikukuhkan sebagai Guru Besar di kampus yang sama.
Prof Dr apt Puji Astuti, SSi, MSc, dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Biologi Farmasi pada Fakultas Farmasi UGM, Selasa (29/8) di Balai Senat UGM. Sepuluh tahun sebelumnya, suaminya, Prof Dr apt Agung Endro Nugroho, MSi, juga dikukuhkan sebagai Guru Besar pada Fakultas Farmasi UGM di usia 36 tahun.
"Sebenarnya kami nggak menyangka, karena kan penganugerahan gelar profesor itu semua civitas akademika ingin capai karena kan nggak mudah. Kalau Pak Agung itu sudah dapat profesor tahun 2012 jadi 10, 11 tahun yang lalu lah," kata Prof Puji dalam detikJogja dikutip Sabtu (2/9/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berawal dari Laboratorium
Kisah cinta pasangan Agung dan Puji bermula sejak bangku kuliah. Mereka bercerita sering bertemu di laboratorium.
Agung dan Puji memutuskan untuk meniti karier sebagai dosen. Meski harus terpisah jarak karena melanjutkan studi, tak membuat komitmen keduanya kandas.
"Kita sekolah lagi, saya kuliah di Australia, suami ke Jepang, itu bagian dari karier yang itu sangat berat kami menjalaninya tapi kembali ke komitmen, pekerjaan, tahap demi tahap karier itu kita raih. Sekali lagi komitmen kita bersama dan yang penting saling mendukung," ucap Puji.
Dia melanjutkan, suaminya memberi banyak dukungan dalam perjalanannnya meraih gelar profesor. Prof Puji menyebut suaminya banyak memberikan dorongan untuk menulis hasil penelitian hingga membantu dalam penulisan pidato pengukuhan Guru Besar.
"Menyempatkan nulis itu berat. Banyak yang penelitian tapi menulis ke paper itu berat. Pak Agung itu banyak mendukung memberi semangatnya di situ sehingga satu demi satu kita bisa sama-sama lah dengan nilai yang kami dapatkan cukup untuk itu," katanya.
Teliti Siklus Sel sebagai Obat Alami Antikanker
Dalam pengukuhan Guru Besarnya, Prof Puji menyampaikan pidato berjudul Siklus Sel Sebagai Target Penemuan Obat Alami Anti Kanker: Pendekatan Empiris Hingga Teknologi Modern. Puji memaparkan kemoterapi merupakan salah satu metode utama dalam pengobatan kanker.
Kendati demikian, metode ini menimbulkan beragam efek samping. Sementara beberapa penelitian melaporkan agen kemoterapi yang diperoleh dari produk alam ataupun sintesis, analognya mempunyai efek samping terbatas dan memiliki kemampuan anti-multidrug resistance.
"Beberapa agen kemoterapi yang diisolasi dari tanaman seperti vincristine, vinblastine, irinotecan, etoposide, paclitaxel, camptothecin, dan epipodophyllotoxin telah digunakan dalam penanganan kanker saat ini. Data dari FDA (Food and Drug Administration) menunjukkan bahwa 40 persen dari molekul yang disetujui berasal dari bahan alam atau turunannya dan 74 persen-nya digunakan dalam terapi kanker," urainya.
Puji memaparkan banyak penelitian berbasis tanaman obat yang digunakan. Bahkan beberapa di antaranya diakui berperan dalam perkembangan obat baru sebagai antikanker seperti kunyit, daun sirsak, keladi tikus.
Meski banyak tantangan dalam proses uji klinis obat bahan alam, Puji menyebutkan hadirnya teknologi modern seperti teknologi kultur sel dan jaringan tanaman menjadi cukup menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan metabolit sekunder dalam jumlah komersial.
"Tingginya keanekaragaman hayati di Indonesia sangat mendukung penemuan obat asli Indonesia. Dengan inovasi, kemajuan IPTEK, serta kemampuan sumber daya yang dimiliki negra kita, bukan hal yang tidak mungkin pengembangan obat di tanah air akan berlangsung lebih cepat dan berkelanjutan," pungkasnya.
(nir/nwk)