![]() |
Zaman telah beralih ke era digital, tapi Imam mengaku tetap setia memakai kartu pos untuk mengirimkan ucapan motivasi. Kartu pos yang dikirimkan pun masih memakai cara konvensional yakni dikirim melalui kantor pos memakai prangko.
Menurutnya kartu pos memiliki bentuk fisik yang jarang dijumpai di zaman digital. Selain itu, ada sisi sentimental di baliknya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kartu pos ini saya tulis tangan, berarti harus meluangkan tenaga sekian jam untuk menulis ratusan lembar dan saya sungguh-sungguh melakukannya. Kalau ucapan lewat Whatsapp sudah sangat biasa," kata Imam.
Berasal dari Keluarga Buta Huruf
Imam berasal dari keluarga sederhana di Jember. Sang ayah tidak menuntaskan pendidikan tingkat dasar sehingga buta huruf. Ia pun ditinggal ibu saat masih balita.
Di bawah asuhan nenek yang sangat menekankan pentingnya pendidikan, Imam bersekolah di perguruan Muhammadiyah dari TK hingga SMP.
Saat masih duduk di bangku SMP pula motivasi kuliah di luar negeri muncul. Saat itu Imam menyaksikan keberhasilan BJ Habibie dan IPTN menerbangkan pesawat N250 karya anak bangsa.
"Kalau saya tidak sekolah tinggi nanti jadi lingkaran setan kemiskinan. Saya harus sekolah tinggi bagaimana pun caranya," ujarnya
Demi mewujudkan mimpi itu, ia memutuskan melanjutkan sekolah ke SMA Negeri agar bisa masuk perguruan tinggi negeri. Lulus SMA Imam ikut tes masuk fakultas kedokteran tapi gagal.
Ia mengaku sempat terpukul dan akhirnya ikut keluarga berjualan kaca. Setahun kemudian tepatnya 2003 ia berhasil masuk jurusan Teknik Metalurgi ITB. Berbekal beasiswa ia menjalani kuliah di Bandung.
"Secara finansial hampir mustahil keluarga membiayai saya masuk ITB. Namun, nenek saya percaya harus sekolah tinggi. Mereka support doa dan motivasi bahwa pendidikan itu penting," kisahnya.
Dukungan doa keluarga besar mampu memotivasi Imam memberikan yang terbaik. Ia pun sukses menjadi lulusan terbaik di angkatannya.
(pal/nwk)