SMP Prawira semula berdiri pada 2012. Siswa kelas 7 saat itu berjumlah 32 siswa, dengan 10 orang guru. Namun di awal pandemi COVID-19, tersisa 10 siswa di sekolah ini.
"Motivasi anak untuk sekolah dan orang tua untuk menyekolahkan anak rendah karena pembelajaran menjenuhkan, membosankan, dan terlalu berpatok pada buku paket," aku Pigurryanto, guru dan Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMP Prawira dalam Pembukaan Temu Pendidik Nusantara X, Minggu (28/5/2023).
Pada gelaran Temu Pendidik Nusantara sebelumnya, Kepala SMP Prawira, Atun Astuti menuturkan bahwa guru-guru juga kadang tidak mengajar karena harus kuliah, sidang, dan PKL di antara jadwal kelas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Atun menuturkan, sempat sulit pula baginya untuk berkomunikasi dengan siswa dan orang tuanya. Saat itu, masih banyak anggapan bahwa tanpa sekolah dan masuk kelas pun para anak-anak setempat bisa kerja. Di samping itu, akses ke sekolah yang tidak mulus pun menambah tantangan ke sekolah.
Guru Belajar
Atun menuturkan, pihak sekolah kemudian berkolaborasi dengan Sekolah Lawan Corona (SLC). Pihak yayasan pun mendatangkan konsultan yang membimbing para guru hingga kini, plus Kampus Pemimpin Merdeka (KPM). Para guru kemudian belajar tentang Kurikulum Merdeka Belajar, praktik baik, membina hubungan dengan orang tua, hingga melakukan pembiasaan refleksi.
Dari situ, Atun, Pigur, dan guru-guru di SMP Prawira Lebih melibatkan orang tua di samping untuk rapat dan pembagian rapor. Whatsapp digunakan untuk komunikasi hasil belajar siswa, kehadiran, karya anak sekolah, dan monitoring kegiatan anak di rumah.
"Alhasil tahun ajaran kemarin (2021/2022) sampai 25 siswa. Kami jadi lebih banyak pelibatan dengan siswa, ortu, jadi lebih berperan. Ketika ada yang ingin disampaikan, datang, sharing, ngobrol, lebih enjoy karena dengan KPM, adanya konsultan, semuanya jadi berubah, insya Allah tetap konsisten menjalankan seperti yang kita dapatkan," tuturnya.
Kelas untuk Siswa sesuai Minat
Pigur menuturkan, ia semula diajak bergabung untuk mengajar di SMP Prawira. Kendati semula tak percaya diri karena tak mengenyam bangku kuliah, ia mengajar bidang seni budaya, prakarya, dan bahasa Sunda yang diminatinya.
Dengan semangat dari guru-guru di sekolah, ia melanjutkan pendidikan tinggi sambil mengajar. Ia juga aktif belajar dan berefleksi tentang Merdeka Belajar hingga manajemen kelas dari perkuliahan, KPM, maupun sumber lain.
"Kami sadar bahwa tidak melibatkan murid dalam pembelajaran selama ini. Selama ini, kami tidak melibatkan ekosistem di sekitar murid," tuturnya.
"Dari situ, kami mulai mengubah kelas kami. Dimulai dari mengundang orang tua mereka, mendengarkan murid tentang minat dan cita-cita mereka, mengajak pertemuan masyarakat sekitar sekolah agar bisa terlibat di lingkungan sekolah," sambungnya.
Berangkat dari mendengarkan siswa dan orang tua, Pigur dan guru-guru SMP Prawira menggagas pembelajaran yang menarik minat belajar siswa. Salah satunya yakni belajar lewat berkebun dan memasak.
"Membuat kebun di sekolah. Kebun yang ada sering digunakan untuk integrasi pelajaran guru-guru, sehingga ilmu yang didapat bisa berguna untuk membantu orang tua. Notabene, di Lembang banyak yang berkebun (untuk mata pencaharian)," terangnya.
Pigur juga mencoba kerja sama dengan warga sekitar untuk bantu pembelajaran siswa. Alhasil, siswa bisa belajar langsung dari warga dengan bimbingannya. Siswa pun menanyakan hal tentang budidaya hewan ternak langsung ke peternaknya, serta memasak sebagai bagian kelas prakarya.
"Belajar tidak selalu di kelas, banyak pabrik, UMKM, yang membuat oleh-oleh. Mengunjungi perkebunan, bertamu ke tokoh-tokoh masyarakat sekitar," tutur Pigur.
Ia bercerita, tiap siswa boleh memilih tantangannya masing-masing. Siswa yang punya pemahaman berkebun baik dengan ilmu dari orang tuanya dijadikan ketua berkebun. Sementara itu, siswa yang pandai melukis dijadilkan ketua seni.
"Ternyata, sesederhana mendengarkan suara orang tua, suara murid, dan melibatkan mereka, bisa berdampak banyak sekali," pungkasnya.
(twu/nwk)