Samuel duduk di atas karpet plastik di depan kelas. Nurhani Tawan,SPd, gurunya, bergantian menunjuk huruf-huruf yang tertera di atas kertas. Siswa kelas 1 SDN 008 Tanjung Palas Timur, Kab. Bulungan, Kalimantan Utara (Kaltara) itu berusaha cepat melafalkan bunyi huruf-huruf tersebut.
Dengan kertas itu Hani melakukan asesmen diagnostik untuk siswa. Asesmen diagnostik adalah asesmen di Kurikulum Merdeka yang secara spesifik digunakan untuk mengetahui kompetensi seorang siswa.
Hasil asesmen diagnostik digunakan guru untuk merancang pembelajaran sesuai kompetensi dan kondisi tiap siswa. Hani sendiri mengajak Muel menjajal puzzle huruf. Rangkaian huruf harus disusun berurutan dari A sampai Z.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara Muel berkonsentrasi mengerjakan puzzle, teman-temannya di kelas juga serius menulis satu kalimat.
Sebelumnya di awal kelas, Hani membacakan big book Keluarga Saya karya Nyoman Sri Utami pada siswa. Isinya tentang tiap anggota keluarga dan hobi atau kesukaannya.
Setelah menyimak, para siswa memilih kalimat yang diundi dari gulungan-gulungan kertas berisi kutipan big book. Hani lalu meminta para siswa belajar menulis kalimat undian masing-masing di kertas berperekat.
"Ngasih tugas yang mereka bisa fokus di situ, nggak main-main. Saat mereka nulis itu butuh waktu, saat itulah saya fokuskan yang Muel tadi," tuturnya.
Kenang-kenangan Pensiun
Begitulah Hani melayani Muel sekaligus teman-temannya dengan dua pembelajaran yang berbeda. Yang ia kerjakan itulah yang kini dikenal sebagai pembelajaran berdiferensiasi alias pembelajaran berbeda.
Pembelajaran berdiferensiasi adalah pembelajaran sesuai tahap capaian belajar masing-masing siswa.
Berdasarkan Panduan Pembelajaran dan Asesmen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Menengah, pembelajaran berdiferensiasi semua siswa di kelas belajar tujuan pembelajaran yang sama di tiap pertemuan. Namun, siswa yang tidak mencapai kriteria ketercapaian kemudian ditindaklanjuti dengan perlakuan khusus agar dapat mencapainya.
"Kalau anak belum mahir, difokuskan di situ dulu. Kalau cepet (mahir), diarahin ke yang lebih tinggi: membaca, menyimak, memahami. Ini nanti bulan depan, presentasi, tes formatifnya. Enggak semua murid per bulan (asesmen diagnostiknya), yang tertentu saja begitu. Ini terus saya kasih, alat tesnya. Disuruh mengucapkan ini (huruf), benernya berapa. Kalau di bawah 10 belum ucapkan dengan benar, kemampuannya sampai di situ," jelas Hani.
"Suku kata, kalau bisa di atas 3-5, sudah lulus. Kalau kurang dari situ, fokus saja di situ dulu. Jadi anak-anak yang tertinggal dilayani di Kurikulum Merdeka. Kenang-kenangan pensiun, hehe," tuturnya tertawa sambil menunjuk kertas-kertas hasil asesmen siswa.
Hani kini berusia 59 tahun. April 2024 nanti, ia sedianya akan dapat SK pensiun. Selama 37 tahun mengajar, 95 persen siswa yang diajarnya berada di kelas 1 dan 2. Kurikulumnya berganti sesuai ketentuan pemerintah.
Ia dan rekan-rekannya belajar lebih jauh tentang kurikulum baru dari Kelompok Kerja Guru (KKG) di bawah pemerintah daerah, didukung Inovasi untuk Anak Indonesia (INOVASI). Program kemitraan Indonesia dan Australia ini berfokus pada peningkatan literasi dan numerasi siswa.
Termotivasi Anak Senang Membaca
Berganti kurikulum, makin giat Hani membuat media belajar. Ada alat belajar pola bilangan warna-warni, hingga huruf dan suku kata, beserta gambar contohnya.
"Kadang ada yang tidak bisa membaca, tetapi mereka lihat gambarnya. 'Ini ada tomat', katanya, meskipun tulisannya 'lihat tomat ini'," tuturnya tertawa.
Siswa-siswa juga ia ajak membuat gambar sendiri. Tidak untuk bermain, tetapi untuk dipadukan dengan huruf dan suku-suku kata sederhana. Anak-anak lalu diajak membaca.
"Perjuangan Ibu sekarang itu -ny, -ng, 'menyanyi', 'menang'. Dan panas kelas Ibu ni. Kalau jelek cuaca, itu (kelas) gelap. Makanya Ibu suruh pasang lampu di sini agar anak bisa baca," katanya.
Bagi Hani, melihat anak senang membaca jadi dorongan untuk terus semangat. Tulisan-tulisan media belajar ia siapkan, lalu minta tolong pada guru-guru muda di sekolah untuk bantu cari gambar pendukung dan cetak di kertas.
"'Kalau Ibu sudah pergi, jangan tinggalkan (anak-anak), maju terus', saya bilang," tutur Hani.
Pranika Dian Dini, salah satu guru muda di sekolah, kerap bantu mencetakkan media belajar buatan Hani.
"Semangatnya Oma itu yang kami tiru, masih mau belajar demi anak-anak," tutur guru PPPK kelahiran 1994 ini.
Giat Buat Media Belajar
![]() |
Normi, SPd, guru kelas 1 SDN 026 Tanjung Selor, Kab. Bulungan, Kaltara pun makin giat membuat media pembelajaran.
Di kelas 1, contohnya, kartu-kartu bergambar profesi dokter hingga pemadam kebakaran buatannya ia bagikan ke siswa. Dengan kartu itu, siswa belajar menulis nama-nama profesi dan aktivitasnya.
Semula, Normi autodidak belajar membuat media pembelajaran selepas lulus Sekolah Pendidikan Guru (SPG, setara SMA). Bagi Normi, alat peraga atau media pembelajaran memudahkannya menyampaikan ilmu pada anak-anak.
Normi kelak melanjutkan studi Sarjana Pendidikan lewat program pemerintah dengan dosen terbang dari Samarinda. Ia pun aktif ikut Kelompok Kerja Guru (KKG) Gugus Limau bersama Sudarmuji, SPd, guru sekaligus ketua KKG tersebut, fasilitator daerah, dan guru-guru dari tujuh SD lain.
Di sekolahnya sendiri, Normi pun ikut KKG mini.
Di komunitas belajar itulah, sambungnya, ia belajar beragam penggunaan media belajar lainnya, cara penyampaiannya, dan evaluasinya-yang kini dalam konteks Kurikulum Merdeka.
"Dulu gunting-gunting sendiri, ABC. Untuk anak-anak. Kadang menggambar, dia (siswa juga mandiri) buat pola berulang. Saya belajar ini dari KKG, sekitar empat tahunan. Pakai kartu-kartu begitu, anak lebih cepat mengerti," terang Normi.
"Bikin soal (tulisannya) ngetik sendiri. (Mencari) gambar itu kemudian dibantu (staf) TU (tata usaha), print juga, karena tidak sempat. Biasanya lulusan muda, sekarang itu baru ganti. Siapapun yang di TU, saya minta bantu," tuturnya tersenyum.
Duduk Berkelompok
Seperti Hani, Normi juga menjalankan asesmen diagnostik pada siswa-siswanya. Setelah asesmen, para siswa duduk berkelompok sesuai tahap capaian belajarnya.
Wahyu contohnya, duduk bersama Itsna. Di awal masuk sekolah, Wahyu baru mengenal tiga huruf. Orang tuanya sibuk mencari nafkah, sementara ia terhambat masuk kelas PAUD karena pandemi.
Normi bercerita, Wahyu pun semula duduk di bersama teman-temannya yang baru mengenal beberapa huruf. Namun, sang anak rupanya senang belajar dengan media pembelajaran dan fokus di kelas.
Alhasil, Wahyu pun sudah bisa duduk bersama Itsna dan teman-teman yang sudah bisa membaca dan menulis kalimat.
"Kalau udah bisa kata, pindah kelompok. Bisa menulis 'pedagang', kan susah. Bola kaki, mata, masih 4-6 huruf. Kalau udah bisa kata pelajaran, pedagang, tanpa lihat contoh tulisan, dia bisa sendiri, baru saya pindahkan kelompoknya. Cek satu-satu. Kalau udah selesai, dikasih soal mandiri. Nanti disitu saya nilai pribadi masing-masing, ngerti nggak dia sama materi tadi. Ngerjainnya sendiri-sendiri buat koreksi," jelas Normi.
"Sepuluh nomor nama-nama binatang, mungkin yang cepat bisa baca begitu, latihan sendiri di rumah. Saya kasih WhatsApp ke ortunya soal anak-anak, soal PR anaknya. Kalau ada lagu, tolong dihafalkan sama anaknya," sambungnya.
Sepulang sekolah, anak-anak yang belum mengerti pelajaran di sekolah juga dibantu memahami kembali. Agar tidak terbeban, sambungnya, penguatan materi diselingi bernyanyi dan bertepuk tangan.
Sepanjang hari, Normi aktif menggunakan beragam media interaktif. Termasuk di antaranya yaitu roda pintar, yang berisi pembelajaran suku kata dengan menggabungkan huruf vokal dan konsonan.
"Diputar, kayak games gitu dia. Pada dasarnya anak-anak lebih suka main games, jadi kita buat seperti itu agar mau belajar," katanya.
Bagi Normi, transisi ke Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum baru tidak sulit.
"Nggak ribet ke kurikulum sekarang, malah lebih mudah. Karena belajarnya sekarang berbeda (berdiferensiasi), ini kelompok yang tahu suku kata, huruf, kalimat. Jadi lebih mudah," pungkas guru usia 55 tahun tersebut.
(twu/pal)