Lebanon dilanda musibah hebat tahun 2020 lalu, ledakan di Pelabuhan Beirut setara gempa M3,3 serta wabah COVID-19. Sejak itu, semua perlahan berubah di Lebanon dengan ketidakpastian akan masa depan. Di bahu para warga Lebanon, ada sebuah harapan yang mungkin tidak bisa mereka lihat lagi di kemudian hari. Masalah silih berganti, tetapi tidak dengan impian mereka yang selalu di bawah naungan awan gelap di langit Lebanon. Orang asing seperti saya hanya bisa menyaksikan hiruk - pikuk situasi yang tak menentu ini.
Perjalanan ini, saya lakukan atas kewajiban sebagai mahasiswa untuk melakukan pertukaran pelajar antar kampus di Lyon, Prancis dan di Beirut, Lebanon. Petualangan yang sangat berkesan ketika bisa melihat perbedaan bulan Ramadan dari dua benua berbeda. Bulan suci datang di hari di mana bunga berkembang di daerah Downtown, daerah yang menjadi ciri khas kota Beirut dengan perpaduan gaya Timur Tengah dan Eropa. Serta angin yang bertiup dari laut Mediterania menggoyangkan daun-daun di sepanjang zaytuna-bay.
![]() |
Hal-hal yang tidak akan saya dapatkan di Prancis dan Indonesia semua terjadi di negara ini. Situasi krisis membuat listrik negara hanya mengalir 4 jam selama satu hari. Keadaan yang sangat tidak masuk akal bila dijalankan memakai logika. Kendati seperti itu, semangat Ramadan masih terasa jika kita menikmatinya dengan hati yang hangat seperti halnya mereka yang saya temui di negara ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Datangnya mahasiswa internasional dari berbagai negara terutama Eropa memberikan warna tersendiri bagi mahasiswa lokal. Dalam keadaan sulit, mereka masih mau berbagi dan mengundang kita untuk melakukan buka puasa bersama mereka. Makanan yang disediakan pun terlihat sangat mewah dan lezat di saat kondisi seperti ini.
Semangkuk Taboulet khas Lebanon telah tersedia di atas tikar, ayam panggang utuh dengan nasi mandi telah siap disantap saat azan Magrib berkumandang, sirup strawbery yang dicampur dengan buah melengkapi hidangan berbuka puasa di hari itu. Mereka menyambut kita dengan senyum tulus, walaupun banyak dari kita yang tidak berpuasa. Bagi mereka, berbagi tidak harus memandang perbedaan, dan hal itu dibuktikan dengan buka puasa bersama yang dilaksanakan oleh fakultas Humaniora di Universitas Saint-Joseph.
![]() |
Ketika bertolak ke Kota Saida di mana umat muslim lebih dominan, suasana Ramadan sangat terasa dan berkesan di saat kelap-kelip lampu menerangi pasar tua Ottoman ketika beberapa menit sebelum azan berkumandang. Senyuman dan tawa mereka saat berbuka puasa menambah suasana pasar tua itu, yang penuh dengan restauran, terasa sangat hidup. Saya dan teman-teman terharu dan senang melihat fenomena yang bisa dibilang langka ditemukan di ibu kota Beirut.
Di kota bernama Beqaa, saya dan teman-teman menghadiri buka puasa bersama yang diadakan oleh majlis para ulama Beqaa. Sebelum berbuka puasa, kami menerima nasihat dan sedikit cerita tentang keadaan aktual Lebanon. Bahkan, beliau memberikan kami beberapa buku yang beliau tulis sebagai kenang-kenangan dan lengkap dengan tanda-tangan beliau.
Setelah selesai berbuka puasa, beliau memberikan kami uang saku yang cukup untuk beberapa minggu dan uang ongkos untuk kembali ke kota Beirut. Berpetualang di beberapa kota Lebanon saat Ramadan memberikan pelajaran hidup yang sangat berarti dan menjadi pengingat arti dari sebenarnya kata bersyukur. Kondisi krisis bukan berarti berhenti untuk tetap menyebarkan kebaikan. Kehangatan, tawa dan senyuman mereka merupakan bukti krisis tidak mempengaruhi berkah Ramadan. Doa yang selalu saya dengar dari mereka adalah agar hidup lebih baik dan keadaan kembali seperti dahulu kala di mana senyuman itu terjadi di setiap harinya.
*) Muhammad Fahri Kholid, Mahasiswa UniversitΓ© LumiΓ©re Lyon 2. Anggota PPI Dunia.
*) Artikel ini terselenggara berkat kemitraan PPI Dunia dan detikEdu.
(nwk/nwk)