Profesor Termuda Cambridge: Tak Bisa Baca-Tulis Sampai Usia 18 Tahun

ADVERTISEMENT

Profesor Termuda Cambridge: Tak Bisa Baca-Tulis Sampai Usia 18 Tahun

Nograhany Widhi Koesmawardhani - detikEdu
Senin, 27 Feb 2023 14:30 WIB
Prof Jason Arday (BBC via BBC Indonesia)
Foto: Prof Jason Arday (BBC via BBC Indonesia)
Jakarta -

Kenalkan Profesor Jason Arday, profesor termuda di Universitas Cambridge di usia 37 tahun. Arday bahkan tak bisa membaca-menulis sampai usianya 18 tahun.

Arday didiagnosis memiliki autisme dan keterlambatan perkembangan umum saat kecil. Ia tak bisa berbicara sampai usia 11 tahun dan tak bisa baca-tulis sampai usia 18 tahun, demikian dilansir BBC Indonesia, Senin (27/2/2023).

Meski banyak sekali halangan pertumbuhan yang dialami Arday, tapi rasa penasaran tentang dunia sekitarnya tetap tinggi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengapa ada orang yang tidak punya rumah dan hidup di jalan? Mengapa ada perang? Begitu segelintir pertanyaan di antara banyak pertanyaan yang pernah dilontarkan Arday saat kecil.

Dua momen yang menjadi trigger atau pemicu Arday untuk maju adalah momen Nelson Mandela dibebaskan dari penjara dan melihat kemenangan simbolis Afrika Selatan di Piala Dunia Rugby pada 1995.

ADVERTISEMENT

Saat itu Arday mengingat bagaimana dirinya sangat tergerak melihat penderitaan orang lain dan merasakan dorongan yang kuat untuk melakukan sesuatu.

"Saya berpikir, kalau saya tidak bisa menjadi pemain sepak bola atau pemain snooker profesional, maka saya akan mencoba menyelamatkan dunia," tuturnya.

Peran Ibu dan Teman

Selain itu, dua orang yang berperan penting di hidup Arday untuk melampaui semua hambatan itu adalah sang ibunda serta teman sekaligus mentor dan tutornya, Sandro Sandri.

Sang ibunda berperan besar dalam menanamkan kepercayaan diri bagi Arday. Ibundalah yang memperkenalkan Arday dalam berbagai macam dan jenis musik. Harapannya, musik ini akan membantu Arday dengan konseptualisasi bahasa.

Kemudian teman, mentor, dan tutornya, Sandro Sandri, tak putus menyemangati Arday. Arday saat itu mulai bisa membaca dan menulis di masa akhir usia belasan tahun dan mendiskusikan untuk menempuh pendidikan lanjut di universitas.

"Sandro berkata, 'Saya yakin kamu bisa - saya yakin kita bisa mengalahkan dunia dan menang'," tutur Arday menirukan kata-kata Sandri.

Perkataan Sandri itulah yang membuatnya untuk pertama kali benar-benar merasakan kepercayaan pada dirinya.

"Kalau saya ingat-ingat lagi, itulah pertama kalinya saya benar-benar percaya pada diri saya sendiri," tuturnya.

Arday lalu belajar Edukasi Fisik dan Studi Pendidikan di Universitas Surrey sebelum mengambil pelatihan untuk menjadi guru olahraga.

Di usia 22 tahun, Arday tertarik dengan gagasan untuk menempuh pendidikan pascasarjana dan mendiskusikannya dengan sang mentor.

Arday lahir dan besar di Clapham, di barat daya Kota London. Tumbuh di area yang relatif miskin kemudian bekerja sebagai guru sekolah, telah memberi Arday pengalaman langsung dalam merasakan ketimpangan sistemik yang dialami anak-anak muda dengan etnis minoritas dalam pendidikan.

"Banyak akademisi yang mengatakan mereka tak sengaja masuk ke dunia ini, tapi bagi saya, momen itu adalah awal keyakinan dan saya sangat fokus - saya tahu ini adalah tujuan hidup saya," imbuh dia.

Jungkir Balik Arday Tempuh Pendidikan Tinggi

Sebagai orang yang memiliki gangguan perkembangan, tentu tak mudah menjalani pendidikan tinggi. Namun Arday tak menyerah meraih keinginannya untuk menjadi seorang akademisi meski minim pengalaman atau pelatihan.

Siang hari, Arday bekerja sebaga guru olahraga di SMA. Malamnya dihabiskan untuk membuat makalah akademik dan belajar sosiologi.

"Ketika saya pertama kali mulai menulis makalah akademik, saya tidak tahu apa yang saya lakukan. Saya tidak punya mentor dan tidak ada yang menunjukkan kepada saya cara menulisnya," kisahnya.

Saat makalah sudah jadi dan harus mengalami proses peer review atau peninjauan oleh teman sejawat adalah suatu tantangan tersendiri. Arday menyebut proses peer review makalah 'sangat kejam'. Namun dengan kemauan kuat dan persistensi, dia berhasil melaluinya.

"Semua makalah yang saya ajukan ditolak dengan kasar. Proses peninjauan sejawat sangat kejam, sampai cenderung lucu, tapi saya menganggapnya sebagai pengalaman belajar, dan anehnya, saya mulai menikmatinya," tutur Arday.

Hasil dari kegigihan itu, Arday kemudian berhasil mendapatkan dua gelar master dan PhD di bidang Studi Pendidikan.

Saat ditanya kapan dia menyadari dirinya adalah seorang sosiolog, dia mengatakan sekitar 2015.

"Saya menyadari inilah yang seharusnya saya lakukan."

Arday akan dikukuhkan sebagai profesor sosiologi pendidikan di Cambridge dan memulai peran barunya sebagai guru besar pada 6 Maret 2023 nanti. Prof Arday berniat meningkatkan representasi etnis minoritas di perguruan tinggi.

"Pekerjaan saya akan fokus pada bagaimana kita dapat membuka pintu bagi lebih banyak orang dari latar belakang yang kurang beruntung dan benar-benar mendemokratisasikan pendidikan tinggi," katanya.

Pada 2018, Profesor Arday menerbitkan makalah pertamanya dan mendapatkan jabatan dosen senior di Universitas Roehampton sebelum pindah ke Universitas Durham, di mana dia menjadi profesor sosiologi.

Pada 2021, ia menjadi profesor sosiologi pendidikan di Fakultas Pendidikan Universitas Glasgow, menjadikannya, pada saat itu, salah satu profesor termuda di Inggris.

"Semoga berada di tempat seperti Cambridge akan memberi saya pengaruh untuk memimpin agenda itu secara nasional dan global," katanya.

"Membicarakannya adalah satu hal; melakukan itu yang penting."

Dalam karyanya saat ini tentang neurodivergence dan mahasiswa kulit hitam, dia bekerja sama dengan Dr Chantelle Lewis dari Universitas Oxford.

"Jika kita ingin menjadikan pendidikan lebih inklusif, alat terbaik yang kita miliki adalah solidaritas, pengertian, dan cinta," tandas Profesor Arday.




(nwk/twu)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads