Jakarta -
Lebih dari seabad lalu tepatnya 3 Juli 1920 berdiri Technische Hoogeschool te Bandoeng (THB) atau Sekolah Tinggi Teknik di Bandung di atas lahan seluas 30 hektare. Kampus ini cikal bakal Institut Teknologi Bandung (ITB) yang diresmikan Presiden Sukarno pada 1959.
THB merupakan perguruan tinggi teknik pertama yang didirikan Belanda di daerah jajahan. Selain itu, THB menyandang status sebagai kampus teknik kedua yang didirikan Kerajaan Belanda setelah Technische Hoogeschool te Delft.
Kampus THB pernah dipimpin oleh seorang ilmuwan dari Belanda bernama Jacob Clay (Claij). Ia adalah pakar fisika lulusan Rijksuniversiteit te Leiden (Leiden University), Belanda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Leiden, Clay menjadi murid sekaligus asisten fisikawan masyhur Heike Kamerlingh Onnes. Onnes merupakan guru besar fisika eksperimen dari Belanda sekaligus peraih Nobel pada 1913. Clay meraih gelar doktor bidang fisika dari kampus Leiden pada 1908.
Setelah mengajar di almamaternya dan Technische Hoogeschool te Delft (kini Delft University of Technology), Clay pindah ke Bandung bersama istrinya Tettje Clasina Jolles. Ia ditunjuk menjadi guru besar di THB.
Dikutip dari Empire of Reason: Exact Sciences in Indonesia, 1840-1940, sebelum berangkat ke Bandung, Clay sempat "nyantri" di laboratorium Ernest Rutherford di Cambridge University. Ia belajar soal radioaktivitas dan berat atom.
Sama seperti Onnes di Leiden, Rutherford adalah ilmuwan ternama di Eropa yang mempopulerkan istilah sinar alfa, beta, gamma, proton, dan neutron. Atas jasanya itu Rutherford diganjar Nobel bidang kimia pada 1908.
Riset Clay di Bandung
Tiba di Bandung Clay langsung tancap gas. Ilmuwan yang lahir 18 Januari 1882 di Berkhout sangat gigih mengupayakan berdirinya laboratorium fisika di Bandung yang kemudian didanai oleh Karel Bosscha.
Dibantu oleh istrinya yang juga ahli fisika dari Leiden, pada 1921 Clay menerbangkan balon udara yang dilengkapi peralatan tertentu dalam upaya untuk mempelajari fenomena yang terjadi di atmosfer bumi.
Fokus penelitiannya pada fenomena "sinar kosmik" atau cosmic ray yang dipopulerkan fisikawan dari Austria Viktor Hess pada 1912.
Selanjutnya>>> Publikasi Riset Jacob Clay
Selama bertahun-tahun Clay berupaya menyempurnakan metode pengukurannya.
Puncaknya pada eksperimen di Laboratorium Bosscha Bandung pada Februari hingga Juli 1927 yang hasilnya dipublikasikan di Proceedings of The Section of Science Amsterdam. Laporan itu menyebutkan dalam perbedaan posisi ketinggian terdapat pula intensitas sinar kosmik yang berbeda.
Clay juga mengeluarkan publikasi selanjutnya pada tahun 1928. Eksperimen dilakukannya saat perjalanan dari Bandung ke Belanda. Kesimpulan dari risetnya itu adalah intensitas sinar kosmik akan menurun jika mendekati garis ekuator atau khatulistiwa.
Publikasi Clay tersebut kemudian berperan besar pada pembuktian dan penyelesaian "perang" saintifik perihal sinar kosmik antara dua ilmuwan peraih Nobel dari Amerika Serikat yaitu Robert Milikan dan Arthur Compton pada 1930-an.
Milikan meraih Nobel dalam bidang Fisika tahun 1923 karena berhasil menentukan muatan elektron. Adapun Arthur Compton meraih Nobel Fisika tahun 1927 penemuan efek Compton yang menjelaskan dualisme partikel gelombang.
Milikan berpendapat sinar kosmik merupakan gelombang elektromagnetik atau berkas sinar kosmik tersusun dari foton-foton berenergi tinggi. Sementara Compton berpendapat sinar kosmik merupakan partikel bermuatan. Perdebatan dua "dewa" fisika ini bahkan dimuat koran The New York Times.
Hanya saja pada awalnya riset Jacob Clay yang dipublikasikan sebelum mencuatnya polemik ilmiah tersebut tidak "dianggap". Tidak ada satu pun yang percaya Jacob Clay karena eksperimen yang dilakukan Milikan menyebut intensitas sinar kosmik sama di seluruh permukaan bumi.
"Orang percaya Clay yang melakukan eksperimen di Bandung atau Milikan seorang ilmuwan besar peraih hadiah Nobel?," ujar Sekretaris Lembaga Pengembangan Ilmu dan Teknologi ITB (LPIT ITB) Grandprix Thomryes Marth Kadja dalam Stadium Generale ITB, Rabu (18/1/2023) lalu.
Baru kemudian Compton mengonfirmasi kerja penelitian Clay. Compton juga berupaya membuktikan sendiri dengan melakukan pengukuran di berbagai tempat dan negara dibantu sejumlah koleganya.
Selama 12 bulan, Compton melakukan ekspedisi sejauh 50 ribu mil mulai dari tempat yang berada di 46 Lintang Selatan hingga ke 68 Lintang Utara. Ia pun berada di lima benua dengan 4 kali melintasi garis ekuator.
Penelitian tersebut kemudian dipublikasikan pada 1933 dalam jurnal The Physical Review yang berjudul A Geographic Study of Cosmic Rays. Compton pun mengutip hasil riset Jacob Clay. Compton menemukan hubungan yang sangat jelas bahwa intensitas sinar kosmik merupakan fungsi dari posisi garis lintang.
Temuan Compton ini ditinjau sejumlah ilmuwan dan didapatkan hasil yang serupa. Pada akhirnya, Milikan pun mengakui temuan Compton dan Clay.
Compton pun mengusulkan Clay dan Hess untuk memperoleh hadiah Nobel berkat jasa dalam penelitian sinar kosmik. Hanya saja Nobel Fisika 1936 diberikan kepada Hess dan David Anderson yang menemukan positron.
Adapun Grandprix menyatakan Jacob Clay merupakan salah satu tokoh utama peletak budaya ilmiah unggul ITB pada era TH Bandung
"Melalui terobosan besar dan pergerakan Jacob Clay, budaya ilmiah unggul di ITB menjadi semakin kuat, besar, dan berkelanjutan," ujar Grandprix.
Ia menyambung,"Budaya ilmiah unggul yang ditanamkan oleh Jacob Clay menghasilkan perilaku berbasis keilmuan, kebenaran, dan kejujuran, serta semangat untuk menghasilkan karya yang unggul."