Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung melakukan studi tentang persoalan tarif ojek online terhadap kepuasan para pengemudi. Penelitian dilakukan dengan memetakan pangkal persoalan yang memicu keputusan salah satu operator mengubah tarif.
Penelitian ini menjadi penting lantaran penetapan tarif ojek daring atau ojek online (ojol) sudah lama menjadi kontroversi. Bahkan menyebabkan hubungan kemitraan yang memanas antara aplikator dan pengemudi sehingga memicu unjuk rasa jalanan.
Terbaru, di awal tahun 2022, ribuan pengemudi ojek daring menggelar aksi di sejumlah kota besar di Indonesia memprotes tindakan salah satu aplikator yang menurunkan tarif batas bawah untuk penggunaan jasa dalam jarak dekat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengemudi sebagai Karyawan Kontrak
Penelitian dilakukan oleh Tri Basuki Joewono dari Jurusan Teknik Sipil Unpar Bandung, Muhammad Rizki dari Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung, dan Jeanly Syahputri dari School of Transportation Sciences di Hasselt University yang termuat dalam jurnal Sustainability tahun 2021 terbitan MDPI (Multidisciplinary Digital Publishing Institute) yang berbasis di Basel, Swiss.
Dengan judul Does Job Satisfaction Influence the Productivity of Ride-Sourcing Drivers? A Hierarchical Structural Equation Modelling Approach for the Case of Bandung City Ride-Sourcing Drivers, penelitian menemukan pentingnya regulasi yang menjamin lingkungan kerja bagi pengemudi.
Para peneliti menemukan bahwa industri ride-hailing memposisikan pengemudi sebagai karyawan kontrak, bahkan pekerja lepas. Bukan sebagai pekerja tetap.
Menurut Joewono dkk, status ini memicu kekhawatiran atas jaminan kelangsungan pekerjaan para pengemudi. Imbasnya bisa terlihat dalam cara pengemudi itu berkendara di jalanan, yang tidak jarang tanpa sadar memacu kendaraannya dengan kecepatan terlalu tinggi.
"Dalam situasi tersebut, regulasi akhirnya akan bermanfaat untuk menjamin hak-hak pengemudi, yang ujungnya meningkatkan kesejahteraan dan kepuasannya dalam bekerja. Regulasi juga akan melindungi dan meningkatkan daya tawar pengemudi, juga penumpang dalam ekosistem pasar tanpa kontrol harga," tulisnya yang memotret situasi Kota Bandung pada tahun 2019.
Persaingan Ketat Antaroperator
Transportasi daring adalah wajah yang merepresentasikan "gig economy" yang saat ini menjadi tren dunia.
Tahun 2015 layanan ojek menggunakan aplikasi di telepon pintar dengan nama Go-Jek mulai diperkenalkan. Tak butuh waktu lama, layanan ini berhasil 'menghijaukan' Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia.
Kelahiran Go-Jek diikuti oleh sejumlah aplikator dengan layanan dan model bisnis yang serupa. Akibatnya, persaingan pun kian ketat, terutama soal tarif.
Hal itu belum ditambah dengan munculnya persaingan dengan ojek tradisional yang sering disebut sebagai opang atau ojek pangkalan.
Untuk menghindari saling sikut soal tarif, pemerintah, lewat Kementerian Perhubungan, sedikitnya telah menerbitkan tiga beleid untuk mengatur bisnis ride-hailing di Indonesia, yakni:
1. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat
2. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 Tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi pada tanggal 4 Agustus 2022.
3. Aturan di atas menggantikan aturan sebelumnya, yakni KM Nomor KP 348 Tahun 2019.
Kehadiran regulasi tersebut diharapkan cukup untuk mengatur ekosistem ojek daring di Indonesia. Namun, faktanya, peneliti menemukan berbagai persoalan di lapangan.
Terutama soal operator yang doyan mengotak-atik tarif dengan beragam skenario, yang kemudian berujung perlawanan pengemudi.
Kepuasan Kerja Pengemudi
Pada penelitian tersebut, Joewono dkk melakukan uji hubungan antara kepuasan kerja pengemudi ride-hailing dengan produktivitasnya.
Sebagian besar penelitian serupa mengambil perspektif pengemudi yang mempraktikkan model transportasi ini di negara-negara maju.
"Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi faktor-faktor apa yang mempengaruhi kepuasan kerja pengemudi pada produktivitas, dan hubungan antara kepuasan kerja dengan produktivitas mereka," tulis Joewono dkk.
Hasilnya, studi menemukan bahwa mayoritas responden menjadikan pekerjaan mengemudi ride-hailing yang mereka lakoni sebagai sumber pendapatan satu-satunya (72 persen), sebagian besar responden statusnya sudah berkeluarga (67 persen), serta penghasilan yang dibukukan rata-rata antara Rp 1-6 juta per bulan (81 persen).
Temuan lain yakni:
1. Sebagian besar pengemudi diketahui membukukan rata-rata 14 perjalanan dalam sehari.
2. Sekitar 22% pengemudi memilih melayani pesanan (order) penumpang untuk pengantaran jarak pendek (5km). Sekitar setengah responden pengemudi menempuh jarak 5-10 kilometer dalam satu kali perjalanan.
3. Pengemudi yang berprestasi tingi cenderung melakukan lebih banyak perjalanan dalam sehari.
4. Pengemudi yang berprestasi, namun yang cenderung lebih berhati-hati dan lebih perhatian pada dirinya serta lebih ketat dalam hal penjadwalan kerja dan kesehatan, cenderung memiliki frekuensi perjalanan yang relatif lebih rendah per harinya.
5. Pengemudi yang mengemudi dengan hati-hati dan berupaya menjaga kesehatannya cenderung menghargai pekerjaannya.
6. Pengemudi yang khawatir dengan risiko kesehatan akibat paparan polusi udara dan kecelakaan justru cenderung kurang menghargai pekerjaannya.
7. Pengemudi yang menjadikan bekerja sebagai pengemudi ride-hailing sebagai pekerjaan sambilan cenderung kurang puas dengan pekerjaannya.
8. Mereka yang menjadikan pekerjaan mengemudi sebagai pekerjaan utamanya yang relatif cenderung merasa lebih puas.
9. Pengemudi yang merupakan pendatang baru dalam pekerjaan ini cenderung kurang puas dengan pekerjaan yang dijalaninya.
10. Pengemudi yang bekerja dengan jarak perjalanan kurang dari rata-rata panjang perjalanan cenderung lebih menghargai pekerjaannya
11. Pengemudi yang terbiasa mengambil pesanan perjalanan jauh malah cenderung merasa kurang puas pada pekerjaannya.
12. Pengemudi ride-hailing berbasis mobil cenderung memiliki frekuensi perjalanan lebih rendah dibandingkan dengan yang berbasis sepeda motor.
(faz/nwk)