Farwiza Farhan, aktivis lingkungan asal Aceh, masuk majalah TIME edisi Oktober 2022 yang bertemakan "TIME100 Next". Ia juga menjadi sampul majalah tersebut. Farwiza dinilai memberi perubahan dalam bidang pelestarian lingkungan.
Akun Twitter TIME pada Kamis (29/9/2022) mengunggah foto Farwiza yang di dalamnya juga bertuliskan, "The World's Rising Stars. Farwiza Farhan. By Jane Goodall."
Goodall dalam artikel yang ditulisnya menceritakan ulang bagaimana Farwiza mulanya banyak diragukan ketika akan menggeluti pendidikan dan perlindungan hutan sekaligus.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kamu tidak bisa melakukan semuanya. Kamu harus fokus," tulis Goodall mengulang ucapan Farwiza.
"Namun, apa gunanya mendidik seorang perempuan muda jika saat dia kembali ke desanya, kemudian meninggal karena buruknya sanitasi? Semuanya saling berhubungan," urai Goodall.
"Kita perlu memecahkan masalah ini pada saat yang sama dan jelas Farwiza Farhan telah memegang kebenaran ini dengan segenap hati," lanjutnya.
Goodall menyoroti Taman Nasional Gunung Leuser yang merupakan kawasan di mana Farwiza menggencarkan perjuangannya. Pendiri Jane Goodall Institute itu memandang tempat ini penting untuk dunia.
Ia menegaskan apa yang dilakoni Farwiza itu adalah pekerjaan penting dan menciptakan perbedaan bagi masa depan dunia.
"Mempertahankan ekosistem dari industri, dari pembangunan, dari pemburu liar, seperti yang dilakukan Farwiza dan rekan-rekan aktivisnya itu adalah pekerjaan penting," tegas Goodall.
Goodall menerangkan, hutan seperti yang ada di ekosistem Leuser adalah salah satu paru-paru terbesar di dunia, menyerap COβ dari atmosfer dan menyimpannya di daun, batang, juga tanah hutan.
Dia mengandaikan, apabila hutan-hutan tersebut ditebang, maka seluruh COβ dilepaskan kembali ke atmosfer yang sudah terbebani, ke dalam gas rumah kaca yang menyelimuti dunia dan menjebak panas matahari.
Pernah Mendapat Penghargaan dari UCLA
Tahun lalu, Farwiza Farhan mendapatkan Pritzker Emerging Environmental Genius Award 2021 dari Institute of Environment and Sustainability, Universitas California, Los Angeles (UCLA), Amerika Serikat.
Aktivis tersebut diganjar penghargaan ini lantaran upayanya melestarikan satwa liar dengan cara yang turut menopang kehidupan manusia di Pulau Sumatra. Perempuan itu berkolaborasi bersama masyarakat dan pengadilan untuk melindungi ekosistem Leuser yang menjadi kawasan terakhir di Bumi di mana gajah, badak, harimau, dan orang utan hidup bersama di alam liar.
Farwiza dan para rekannya melawan ancaman geologis dengan menghabiskan waktu tinggal di antara masyarakat di sekitar Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) demi lebih memahami kebutuhan mereka. Bahkan, dia juga menggerakkan tokoh masyarakat di sana untuk mengajukan gugatan perdata atas rencana pembangunan yang bisa melegitimasi skema jalan dan pembangkit listrik tenaga air dan hak menanam pohon kelapa sawit serta pembangunan pemukiman baru.
Mengutip dari laman LinkedIn miliknya, Farwiza telah menjalani sederet pendidikan mentereng. Dia lulus dari Universiti Sains Malaysia sebagai sarjana Sains, Biologi Kelautan.
Selanjutnya, aktivis lingkungan tersebut memperoleh gelar magister di The University of Queensland jurusan Manajemen Lingkungan. Kini, dia adalah kandidat PhD di Radboud University Nijmegen, Belanda, Departemen Antropologi Budaya dan Studi Pembangunan.
(nah/pal)