Calon mahasiswa yang berminat menjadi tenaga kesehatan agaknya patut mendengar kisah para nakes di Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga (RSTKA), Universitas Airlangga (Unair). Sejak beroperasi pada 2017, rumah sakit di atas kapal yang menjadi percontohan Kampus Merdeka ini lalu memiliki lebih dari 1.652 relawan, melayani 13.500 pasien di 49 pulau di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T).
Rumah sakit terapung Unair ini juga memberikan pelayanan kesehatan bagi warga terdampak bencana alam Indonesia. Dikutip dari laman resmi Unair, salah satunya yakni pada gempa Lombok Agustus 2018 dan gempa Sulawesi Barat, Januari 2021. Sebab, bencana alam berisiko menyulitkan perjalanan darat atau udara untuk memberikan bantuan pokok dan bantuan kesehatan. Lewat berlayar, warga di pulau terpencil pun jadi dapat dijangkau.
Berawal dari Layanan Kesehatan di Atas Perahu
Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga (RSTKA) Unair bermula dari pelayanan kesehatan Sailing Medical Service (SMS) beberapa dekade lalu. Agus Hariyanto, dr., Sp.B bersama tim SMS mendatangi masyarakat di pulau-pulau terpencil di Maluku menggunakan perahu kecil, seperti dikutip dari Dokter Magazine terbitan Ikatan Alumni Fakultas Kedokteran Unair.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari pulau ke pulau, Agus mendapati, masyarakat yang tinggal di kawasan terpencil kesusahan datang ke rumah sakit karena kendala transportasi, ongkos yang mahal, hingga ombak besar. Ia sendiri merasakan perjalanan ke lokasi merupakan medan yang berat dan tidak jarang mengancam keselamatan para dokter.
Agus menuturkan, ketika tiba di lokasi , ia dan tim juga harus membongkar-pasang peralatan kesehatan untuk melayani masyarakat. Rutinitas ini sulit karena selain kapalnya kecil, alat-alat yang dibawa dan harus diangkat ke daratan cukup berat.
"Saya ini tidak bermaksud berpetualang. Tapi, saya terlanjur tahu pulau-pulau terpencil itu butuh pelayanan. Kami proaktif datang ke pulau dan kami selesaikan kasusnya di pulau mereka. Itu sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Kami berpikir, di tempat terpencil lainnya pasti banyak [yang butuh]," tutur Agus, dikutip Kamis (2/6/2022).
Rumah Sakit Terapung di Kapal Besar
Kelak pada 2017, Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga (RSTKA) Unair beroperasi dengan 2 kamar operasi. Harapannya, warga yang harus berlayar belasan jam untuk mendapat pengobatan hingga tindakan operasi kini dapat terbantu. Setelah bersandar di sebuah pulau, para relawan tenaga kesehatan bisa melayani kebutuhan kesehatan warga setempat hingga penyuluhan kebersihan sederhana bagi anak-anak, lalu kembali berlayar.
Agus menuturkan, pada 2018, RS Terapung ini kemudian punya target berlayar dari pulau ke pulau perbatasan di Indonesia. Setelah bersandar di sebuah pulau, tim dokter melakukan pelayanan dasar ke darat. Bila ada operasi, pasien dibawa ke kapal.
Ia mengamini, tantangan cuaca dan lainnya masih dijumpai. Karena itu, butuh kesiapan hati dan komitmen untuk sampai di lokasi dan memberi layanan.
"Kerjakan saja yang bagian kita, yang nggak bisa kita kendalikan itu urusan Tuhan. Jadi harus berpikiran positif, jangan pesimis, tetapi tetap dalam perhitungan. Semisal cuaca, kita menurut sama BMKG dan kantor syahbandar. Kalau memang tidak terlalu mendesak, kita bisa bijaksana memperhatikan anjuran mereka," kata Agus.
Selanjutnya bayi lahir di atas kapal>>>
Dibawa Kapten Kapal
Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga (RSTKA) Unair dijalankan kapten Mudatsir (46) sejak awal didirikan. Pria asli Bulukumba, Sulawesi Selatan ini menuturkan, semula dirinya direkrut ketika RS Terapung ini akan berlayar ke Pulau Bawean, Gresik.
"Sejak tahun 2000 saya mulai melaut. Awalnya saya kerja di kapal ekspedisi, lalu sejak 2017 sampai sekarang saya jadi kapten di RSTKA," tutur Mudatsir, dikutip dari laman resmi kampus.
"Saat itu saya dikenalkan dengan RSTKA oleh dr. Agus Harianto. Awalnya saya diajak ke pembuat kapalnya di Galesong dan diperlihatkan kapalnya," imbuh alumnus Balai Pendidikan Dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Makassar tersebut.
Mudatsir bercerita, ia semula bergabung di RSTKA untuk satu kali perjalanan saja. Sebab, kondisi kapal 27 meter tersebut awalnya kurang layak beroperasi dan butuh banyak perbaikan. Namun, ia lalu menerima tawaran menjadi kapten kapal RSTKA.
"Saat perjalanan uji coba misalnya, ada tiang kapal yang jatuh, untung tidak ada yang kena. (Tetapi) Melihat dokter kerja dari pagi sampai larut malam, relawan angkat pasien dari kapal ke ambulans, dari ambulans ke kapal, dan butuh tenaga yang melibatkan kru, di situ saya merasa ada kebaikan dan niat ibadah di dalamnya. Sehingga saya tertarik untuk terus ikut di sini," tuturnya.
Bayi Lahir di Kapal
Mudatsir mengatakan, pelayanan RSTKA pertama kali berjalan di daratan Pulau Bawean Gresik. Sebab, belum ada fasilitas medis yang memadai untuk melakukan tindakan di dalam kapal. Baru kemudian, layanan di kapal memungkinkan operasi hingga persalinan.
"Dulu saat pelayanan di Pulau Kangean, ada bayi yang lahir pertama kali di RSTKA dan dinamai Ksatria Airlangga. Saya ikut memberi nama itu. Lalu, dua tahun kemudian balik lagi ke situ, dan saya ketemu lagi dengan anaknya," kenang bapak dua anak tersebut haru.
Baginya, pengalaman tersebut membanggakan, mengingat bagaimana RSTKA telah membantu banyak masyarakat yang masih terbatas dalam akses fasilitas kesehatan. Mudatsir juga berkeinginan agar RS Terapung Unair ini bisa melayani di Bulukumba, daerah asalnya.
"Pernah direncanakan ke Kepulauan Selayar yang dekat dengan kampung saya, tapi tertunda karena Covid-19. Mudah-mudahan rencana itu bisa dilanjutkan," harap Mudatsir.
"Saya dan teman-teman kapal berharap semoga kegiatan ini makin banyak membantu orang di daerah terpencil, khususnya untuk kesehatan mereka. Semakin menyentuh orang di bagian terluar, dan semakin mendekati tujuannya," imbuhnya.