Profesor dari Universitas Airlangga (Unair) Prof Dra Rachmah Ida MComms PhD mendapatkan penghargaan internasional sebagai Top 100 Scientist Social Sciences versi Alper-Doger (AD) Scientific Index baru-baru ini. Penghargaan peneliti terbaik dunia tersebut diperoleh Profesor Ida lewat kontribusi riset di bidang audience, gender, dan komunikasi politik.
Profesor Ida semula merupakan mahasiswa angkatan pertama di Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair pada 1988. Alumnus SMAN 5 Surabaya ini lulus pada 1992, seperti dikutip dari laman Unair, Sabtu (16/4/2022).
Ida kemudian mendapat beasiswa master dari Australian Sponsored Training Scholarships dari Australian Agency For International Development (ASTAS AusAID). Berbekal beasiswa tersebut, perempuan yang kelak menjadi dosen di almamaternya ini lalu melanjutkan pendidikan Studi Media di Edith Cowan University, Perth, Australia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menuturkan, semula ada stigma di antara rekan sejawatnya yang menganggap bidang Studi Media tidak memiliki masa depan, jika dibandingkan dengan public relation (PR) atau development studies.
Kendati demikian, sambungnya, ketertarikan pada bidang ilmu tersebut tidak luntur. Usai meraih gelar Master of Media Studies, Ida melanjutkan perkuliahan bidang Studi Media pada tahun 2002 di Curtin University of Technology, Australia dan terus aktif sebagai peneliti.
Dengan pengalaman akademik maupun non akademik, Ida kemudian didapuk menjadi Kepala Departemen Komunikasi Unair dan kelak ketua prodi S2 di Program Pascasarjana Unair. Ia pun sempat menjadi asesor Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi (BAN-PT).
Penelitian dan Penghargaan
Prof Ida juga dua kali mendapat penghargaan sebagai guru berprestasi Unair. Ia aktif berbagi ilmu dengan mahasiswa lewat perkuliahan sambil membagikan temuan penelitian di bidang media, gender, perempuan, dan lain-lain pada masyarakat.
Dilansir dari laman Google Cendekia, ia sudah menghasilkan berbagai buku dan publikasi ilmiah lebih dari 100 karya. Karya-karya Ida antara lain Imaging Muslim Women in Indonesian Ramadan Soap Operas (2010) yang dirilis penerbit Jerman, Komunikasi Politik (2012), dan Metode Penelitian: Studi Media dan Kajian Budaya (2014).
Buku metode penelitian karya Ida berisi cara meneliti yang benar dari kacamata pendekatan perspektif media dan kajian budaya. Dilansir dari Google Cendekia, buku Metode Penelitian: Studi Media dan Kajian Budaya telah dikutip sebanyak 485 kali.
"Bagi saya kebahagiaan tersendiri karena ilmu itu akhirnya bisa sampai ke mahasiswa saya terutama dan masyarakat umum secara luas, scholars, dan akademisi di Indonesia," tuturnya.
Sementara itu, penelitian Ida juga mengantarkannya pada berbagai penghargaan.
Penelitian Ida tentang khitan pada perempuan, contohnya, meraih penghargaaan Masri Singarimbun Research Awards. Program pemberian dana penelitian bidang kesehatan reproduksi dan kebijakan demografi dengan perspektif gender ini merupakan kerja sama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM dan The Ford Foundation.
Peraih Asian Muslim Action Network (AMAN) Awards ini juga menjadi ahli media antropologi pertama di Indonesia. "Saya mengembangkan etnografi audiens," jelasnya.
Guru Besar Studi Media Pertama di Indonesia
Ida lalu dinobatkan sebagai Guru Besar Studi Media Pertama di Indonesia pada tahun 2014. Salah satu karyanya yang kerap menjadi sitasi peneliti dari berbagai negara yakni salah satu chapter di Politics and The Media in Twenty-First Century Indonesia: Decade of Democracy.
"Dalam salah satu chapter itu, saya menunjukkan bagaimana pemilik media bersekongkol dengan penguasa, yang disebut oligarki media," jelasnya.
Ia menambahkan, karya-karyanya juga mencoba memberikan pandangan kritis tentang media massa di Indonesia. Harapannya, pandangan tersebut mampu membuka mata peneliti komunikasi di Indonesia untuk turut melihat media massa dengan kritis.
Ida mencontohkan, tradisi penelitian selama ini hanya melihat bagaimana televisi bisa mempengaruhi perilaku penontonnya. Karena itu, Ida mencoba melihat hubungan yang sangat erat antara kepemilikan TV dan media massa, serta perilaku kapitalisme media massa di Indonesia.
"Pada akhirnya hal itulah yang merugikan penonton sehingga penonton hanya bisa pasif, tidak memiliki kesempatan untuk berbicara dan seolah menjadi target pasar dari komoditas media massa," jelasnya.
Tertarik mengikuti jejak Prof Ida menjadi Top 100 peneliti dunia, detikers?
(twu/nwy)