Kayu gelondongan bekas penebangan hutan diduga menjadi penyebab banjir di wilayah Sumatera pada akhir November lalu. Diketahui, kayu-kayu ini terseret banjir dan menghantam pemukiman.
Melihat situasi ini, Sumatra Policy Manager Konservasi Indonesia (KI), Dedy Iskandar mengatakan jika berbagai pertanyaan publik termasuk terkait temuan kayu-kayu di sejumlah desa terdampak merupakan hal yang wajar. Namun menurutnya, isu tersebut perlu dijawab oleh pemerintah melalui pendekatan berbasis bukti.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Isu yang berkembang di masyarakat tidak bisa dijawab dengan asumsi. Diperlukan analisis yang komprehensif agar pemerintah memiliki dasar yang kuat dalam mengambil langkah perbaikan," kata Dedy dalam keterangan resminya, Senin (22/12/2025).
Ia menekankan jika kajian spasial pascabencana menjadi fondasi penting untuk memahami perubahan tutupan hutan dan lahan. Namun, perubahan lansekap di wilayah terdampak banjir tidak dapat dijelaskan hanya melalui peta.
"Diperlukan kajian yang lebih menyeluruh terhadap aktivitas pemanfaatan ruang agar penataan ruang ke depan benar-benar menyesuaikan dengan kondisi ekologis terbaru," ujarnya.
Pembukaan Lahan di 10.000 Hektar Ekosistem
Program Manager Batang Toru Konservasi Indonesia, Doni Latuparisa, menambahkan jika pada periode lima tahun terakhir telah terjadi pembukaan lahan pada sekurangnya 10.000 hektar di ekosistem Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Lebih dari 73 persen pembukaan tutupan ini terjadi pada wilayah hulu yaitu pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Oleh karena itu, Doni menekankan penataan ruang yang lebih adaptif agar perlindungan kawasan dan aktivitas masyarakat dapat dikelola secara terpadu.
"Pengelolaan ekosistem Batang Toru tidak bisa dilepaskan dari kondisi desa-desa di sekitarnya. Ketika wilayah pinggiran mengalami kerusakan dan tidak tertangani dengan baik, upaya pelestarian di tingkat ekosistem juga akan berjalan lebih lambat karena tekanan terhadap kawasan inti terus meningkat," kata Doni.
Ia menegaskan agar proses penataan ruang pascabencana bisa melibatkan lintas sektor, termasuk Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, mengingat keterkaitannya dengan pengelolaan daerah aliran sungai, infrastruktur, dan mitigasi risiko bencana.
"Penataan ruang membutuhkan basis data yang lengkap dan diperbarui. Ketika data ekologis, hidrologis, kebencanaan, dan sosial dikumpulkan dan dibaca bersama, pemerintah akan memiliki pijakan yang lebih kuat untuk menyusun rencana tata ruang yang mumpuni," jelas Doni.
Pentingnya Perlindungan Ekosistem dalam Merumuskan Kebijakan
Senior Vice President and Executive Chair KI, Meizani Irmadhiany, menegaskan jika peristiwa di Batang Toru menunjukkan keterkaitan antara perlindungan lingkungan dan keselamatan manusia.
"Peristiwa bencana di Batang Toru mengingatkan kita bahwa kerja konservasi tidak bisa dipisahkan dari upaya keberlanjutan salah satunya untuk keselamatan manusia. Perlindungan ekosistem, penataan ruang yang adaptif, pencegahan dan pengelolaan risiko bencana harus berjalan bersama agar pembangunan benar-benar berkelanjutan," kata Meizani.
Pihak KI atau Konservasi Indonesia melihat, jika perubahan fisik kawasan dapat memunculkan risiko baru bagi ekosistem Batang Toru, seperti meningkatnya fragmentasi habitat akibat longsor dan terbukanya lahan, perubahan alur sungai serta kawasan sempadan yang mengganggu fungsi ekologis, hingga meluasnya aktivitas manusia ke area-area yang semakin rentan pascabencana.
Kondisi ini juga berisiko mengubah ruang jelajah satwa dan meningkatkan potensi konflik antara manusia dan satwa liar di sekitar kawasan ekosistem. Menanggapi kondisi tersebut, Meizani menekankan pentingnya menjadikan perubahan lansekap pascabencana sebagai dasar dalam merumuskan arah kebijakan ke depan.
"Perubahan lansekap pascabencana memberi konteks baru bagi pengambilan kebijakan dan penyusunan program perlindungan dan pengelolaan lansekap. Pemerintah memiliki peluang penting untuk memastikan rencana tata ruang dan perlindungan ekosistem benar-benar mencerminkan kondisi lapangan terkini, sehingga risiko ekologis dan sosial dapat ditekan sejak awal," ujarnya.
(nir/faz)











































