Manusia terus beradaptasi dengan kehidupan modern sejak revolusi industri dimulai pada abad ke-18. Selama ratusan tahun, dunia modern berkembang cepat hingga manusia harus terus mengikutinya. Namun, benarkah manusia sebenarnya tidak siap?
Seorang antropolog menjelaskan bahwa perkembangan dunia modern terlalu cepat bagi kemampuan biologi manusia untuk beradaptasi. Artinya, adaptasi cepat untuk dunia modern, secara alami tidak sesuai dengan biologis manusia.
Perubahan drastis dari suasana alam ke pabrik-pabrik dan perkotaan, menyebabkan 'manusia modern' berubah dibanding sebelumnya. Sejak era industri sampai sekarang, polusi udara di mana mana, pencemaran suara, cahaya, mikroplastik, bahan kimia, makanan instan hingga kebiasaan menatap layar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebuah studi menyebut, perubahan dunia modern yang cepat ini, membuat manusia mengalami stres kronis dan banyak masalah kesehatan. Padahal dalam dunia sebelumnya, manusia bahkan bisa mengatasi stres ketika menghindari predator menakutkan di alam.
""Di lingkungan leluhur kita, kita sangat mampu mengatasi stres akut untuk menghindari atau menghadapi predator," kata Colin Shaw, yang memimpin kelompok riset Human Evolutionary EcoPhysiology (HEEP) bersama Daniel Longman, dikutip dari Science Daily.
"Singa akan datang sesekali, dan Anda harus siap membela diri -- atau lari. Kuncinya adalah singa itu pergi lagi," tambahnya.
Manusia Diciptakan untuk di Alam
Dalam studi yang terbit di jurnal Biological Review pada 7 November 2025, peneliti mengungkapkan bahwa fisiologi manusia dibentuk oleh alam dan lingkungannya. Ketika industrialisasi modern menjadi tempat tinggal, maka masalah muncul.
Menurut pemimpin studi, antropolog evolusioner dari Universitas Zurich, Colin Shaw dan rekannya Daniel P. Longman dari Universitas Loughborough, dunia modern telah berkembang jauh lebih cepat dibandingkan kemampuan adaptasi manusia secara biologi.
Ketidaksesuaian ini yang membuat 'jalur stres' biologis manusia selalu aktif. Faktor-faktor pemicu stres menjadi lebih banyak, seperti tekanan kerja, kemacetan lalu lintas, media sosial, dan kebisingan.
Peneliti mengatakan, jika dulu stres muncul ketika berhadapan dengan singa di alam, maka di dunia modern 'singa-singa' itu menjadi semakin banyak dan sering.
"Baik itu diskusi sulit dengan atasan Anda atau kebisingan lalu lintas, sistem respons stres Anda tetap sama seolah-olah Anda menghadapi singa demi singa. Akibatnya, Anda memiliki respons yang sangat kuat dari sistem saraf Anda, tetapi tidak ada pemulihan," jelas Longman.
Penurunan Kesehatan dan Reproduksi Akibat Stres
Dalam penelitiannya, Shaw dan Longman menemukan bahwa evolusi manusia modern ternyata mengurangi kebugaran. Sejak industrialisasi dimulai, angka kesuburan menurun dan peradangan serta autoimun meningkat.
"Ada paradoks di mana, di satu sisi, kita telah menciptakan kekayaan, kenyamanan, dan layanan kesehatan yang luar biasa bagi banyak orang di planet ini, tetapi di sisi lain, beberapa pencapaian industri ini berdampak buruk pada fungsi kekebalan, kognitif, fisik, dan reproduksi kita," kata Shaw.
Shaw mengungkapkan, penurunan jumlah dan mortilitas sperma terjadi sejak tahun 1950-an. Ia menyimpulkan bahwa hal ini terjadi karena pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh pestisida dan herbisida dari makanan serta mikroplastik.
Selain itu, stres berkepanjangan juga menyebabkan kebugaran menurun, disebabkan oleh bergesernya cara hidup manusia menuju kehidupan industri dan perkotaan.
Kembali ke Alam Jadi Solusinya
Peneliti mengakui, bahwa dunia modern semakin menjauhkan manusia dari lingkungan alaminya. Fisiologi manusia yang tidak sesuai dengan kehidupan modern terus dipaksa berevolusi.
Padahal, kata peneliti, harus ada kesadaran untuk kembali ke alam. Berbagai studi telah menunjukkan bahwa kembali ke alam bisa meningkatkan kesejahteraan mental.
Di perkotaan, pengadaan ruang terbuka hijau dinilai harus diciptakan untuk mengembalikan lanskap alami. Shaw juga menyarankan untuk memikirkan ulang tata letak perkotaan agar sesuai dengan fisiologis manusia, dan mengurangi paparan berbahaya.
"Kita perlu menata kota kita dengan tepat, sekaligus meregenerasi, menghargai, dan menghabiskan lebih banyak waktu di ruang-ruang alami," tutup Shaw.
Penulis adalah peserta magangHub Kemnaker di detikcom.
(faz/faz)











































