Menanti Penetapan Status Bencana Nasional pada Banjir Sumatera

ADVERTISEMENT

Menanti Penetapan Status Bencana Nasional pada Banjir Sumatera

Nikita Rosa - detikEdu
Sabtu, 20 Des 2025 08:00 WIB
Menanti Penetapan Status Bencana Nasional pada Banjir Sumatera
Potret Pasca Banjir Sumatera. (Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)
Jakarta -

Penanggulangan banjir Sumatera sudah memasuki minggu ketiga. Dengan meningkatnya jumlah korban dan rusaknya fasilitas umum, masyarakat semakin mendesak penetapan status banjir Sumatera sebagai bencana nasional.

Diketahui, banjir yang melanda Aceh,Sumatera Utara, danSumatera Barat ini telah merusak rumah warga. Penyaluran bantuan juga terhambat akibat terputusnya akses jalan dan jembatan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Merespon persoalan ini, pakar kebijakan publik Universitas Muhammadiyah Makassar Dr Ihyani Malik berpandangan, polemik status tidak boleh mengaburkan kebutuhan korban. Namun, status perlu dipahami sebagai instrumen kebijakan yang berpengaruh langsung pada desain komando, pembiayaan, dan ritme pemulihan.

Kriteria Bencana Nasional

Ihyani menjelaskan, penetapan status bencana nasional telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007. Dalam UU tersebut, indikator bencana nasional berkaitan dengan jumlah korban, besaran kerugian, kerusakan prasarana-sarana, luas wilayah terdampak, hingga dampak sosial-ekonomi.

ADVERTISEMENT

"Intinya, jika dampak bencana melampaui kapasitas daerah dan membutuhkan intervensi penuh pemerintah pusat, statusnya bisa dinaikkan," kata Ihyani dalam laman resmi UM Makassar, dikutip Jumat (19/12/2025).

Dalam hal banjir Sumatera, Ihyani melihat bencana yang tidak lagi bersifat lokal. Dampak banjir tersebut telah melewati lintas kabupaten/kota dan terjadi hampir bersamaan di beberapa provinsi.

Kendati demikian, ia mengingatkan jika penetapan status nasional tidak semata soal angka. Status bencana nasional justru keputusan politik-administratif yang mempertimbangkan kapasitas respons, skema koordinasi, serta konsekuensi pembiayaan dan akuntabilitas.

"Sejak reformasi, tidak banyak peristiwa yang diberi status bencana nasional. Tsunami Aceh 2004 dan pandemi COVID-19 contoh yang paling menonjol," ujar Wakil Rektor II UM Makassar itu.

Dampak Status Bencana Nasional

Dalam perspektif kebijakan publik, Ihyani menyebut status bencana nasional akan memengaruhi komando dan jalur sumber daya. Bila status bencana nasional ditetapkan, koordinasi operasional akan lebih terpusat. Pemerintah pusat melalui BNPB dan kementerian/lembaga dapat memobilisasi personel, logistik, serta anggaran rehabilitasi-rekonstruksi pada skema yang lebih cepat dan besar.

"Status nasional memperjelas satu komando. Mobilisasi sumber daya bisa lebih terkoordinasi, pendanaan pemulihan pun lebih leluasa," kata Ihyani.

Di wilayah bencana yang meluas seperti Sumatera, ia menilai satu komando memberi keuntungan tambahan. Pasalnya, kebutuhan di Aceh, Sumut, dan Sumbar tidak identik.

Ada wilayah yang membutuhkan pembukaan akses karena desa-desa terisolasi, ada yang mendesak pemulihan jembatan, ada pula yang memerlukan layanan kesehatan dan air bersih dalam skala besar.

Beban Koordinasi di Daerah Makin Berat

Jika status nasional tidak ditetapkan, bencana tetap berstatus daerah. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota akan tetap menjadi penanggung jawab utama, sedangkan pemerintah pusat berada pada posisi mendukung.

Menurut Ihyani, dukungan pusat tetap bisa maksimal, tetapi jalur koordinasinya berbeda. Pemerintah daerah harus mengonsolidasikan data, memetakan kebutuhan, mengatur distribusi, sekaligus merespons tekanan publik.

"Tanpa status nasional, beban koordinasi lebih berat di daerah. Potensi tarik-menarik kewenangan bisa muncul, apalagi ketika kebutuhan lapangan sangat besar," ujar dosen Ilmu Administrasi Negara itu.

Namun, Ihyani mencermati risiko lain, yakni munculnya komando ganda yang membuat keputusan lapangan melambat. Daerah menunggu dukungan pusat untuk infrastruktur dan logistik besar, sementara pusat menunggu laporan detail dari daerah. Dalam keadaan darurat, keterlambatan kecil berdampak pada distribusi bantuan, pemulihan listrik, layanan kesehatan, dan akses air bersih.

Beban Psikologis Warga

Ihyani menekankan diskusi status bencana tidak boleh meminggirkan kondisi psikologis warga. Dalam situasi bencana yang berlangsung berhari-hari, kelelahan sosial muncul. Pengungsi menghadapi ketidakpastian, kebutuhan logistik tersendat, dan layanan dasar belum stabil.

"Pada momen seperti ini, negara harus hadir bukan hanya dalam bentuk bantuan, tetapi juga kepastian: siapa memimpin, bagaimana alur distribusi, dan kapan pemulihan dimulai," kata Ihyani.

Rangkaian bencana hidrometeorologi ini juga menghentikan pendapatan harian, seperti pertanian dan kebun rusak, aktivitas dagang lumpuh, transportasi terganggu, dan banyak keluarga memasuki fase darurat nafkah. Ihyani mengingatkan, semakin lama fase tanggap darurat, semakin besar risiko rumah tangga jatuh miskin permanen.

"Kalau pemulihan terlambat, kerentanan sosial bisa meningkat. Karena itu kebijakan harus memberi kepastian dan kecepatan," ujarnya.

Tiga Langkah Mendesak

Menghadapi situasi saat ini, Ihyani menyebut tiga langkah kebijakan yang paling mendesak:

1. Keputusan Terkait Status Bencana Nasional

Pertama, pemerintah pusat perlu mengambil keputusan yang tegas terkait status bencana nasional, disertai penjelasan terbuka mengenai dasar pertimbangannya.

"Keputusan itu memberi kepastian arsitektur penanganan," kata Ihyani.

2. Menghilangkan Hambatan dalam Distribusi Bantuan

Kedua, pemerintah harus memberikan solusi dalam hambatan distribusi bantuan. Misalnya, wilayah terisolasi dibuka aksesnya, jembatan darurat disiapkan, jalur alternatif diaktifkan, dan bantuan udara dipakai untuk logistik.

3. Pemulihan

Ketiga, pemulihan harus dirancang sejak dini dengan prinsip build back better: relokasi dari zona rawan, infrastruktur tahan bencana, sistem peringatan dini, serta program pemulihan nafkah bagi warga terdampak. Kelompok rentan, seperti anak, lansia, difabel, harus menjadi prioritas layanan kesehatan, perlindungan sosial, dan hunian sementara.

"Pemulihan Sumatera tidak cukup membangun fisik. Yang dipulihkan adalah kehidupan sosial masyarakat," ujar Ihyani.

Ihyani mengingatkan agar perdebatan status tidak berubah menjadi kompetisi narasi antara pusat dan daerah.

"Fokus utama jangan teralihkan. Keselamatan dan pemulihan warga di Aceh, Sumut, dan Sumbar harus jadi prioritas nomor satu," kata Ihyani.




(nir/twu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads