Pernah merasa tidak sejalan dengan pendapat orang lain, tapi memilih diam? Atau ketika salah berkata atau berlaku kepada orang lain, spontan mengucap maaf? Perilaku tersebut merupakan moral yang berlaku di masyarakat.
Banyak orang berpikir jika moralitas seseorang dibentuk dari pikiran dan norma sosial saja. Mereka tidak pernah menyangka bahwa detak jantung, kata hati, hingga firasat berperan dalam menentukan benar atau salah.
Sebuah studi yang telah terbit di The Journal of Neuroscience menemukan, kemampuan seseorang dalam merasakan detak jantung serta berbagai sinyal dari tubuh sendiri, dapat berkaitan dengan cara mereka memutuskan benar atau salah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penelitian yang dipimpin oleh Hackjin Kim, seorang ahli saraf dari Universitas Korea ini berusaha menghubungkan bidang ilmu saraf, psikologi moral dan perilaku sosial. Ia dan tim memberikan pandangan, orang yang lebih bisa terhubung dengan sinyal-sinyal di tubuhnya, dapat menggunakan sinyal-sinyal ini untuk membuat keputusan yang selaras dengan orang lain.
"Teori-teori terbaru menunjukkan bahwa otak kita dirancang untuk meminimalkan konsumsi sumber daya fisik sekaligus mempertahankan kelangsungan hidup," ujar Kim yang dikutip Live Science pada (28/05/2025) lalu.
Ujian Dilema Moral, Siapa yang Lebih Peka?
Tim peneliti menguji hipotesis tersebut melibatkan 104 mahasiswa korea dalam eksperimen. Pertama, para peserta dihadapkan dengan dilema moral, eksperimen dilakukan dengan mengorbankan satu orang untuk menyelamatkan beberapa orang lainnya. Mereka diminta untuk memilih di antara dua keputusan, antara 'utilitarian' yaitu prioritas untuk memperoleh manfaat terbesar atau 'deontologis' yaitu prioritas untuk mengikuti aturan dan norma yang berlaku.
Pada eksperimen terpisah, para peserta diminta untuk fokus pada tubuh mereka, untuk menghitung detak jantung mereka dalam interval pendek, dan dalam waktu yang sama, detak jantung para peserta direkam menggunakan elektrokardiogram.
Menariknya peneliti menemukan peserta yang lebih cermat dalam menghitung detak jantung, cenderung mengambil keputusan moral yang sejalan dengan orang lain.
"Idenya adalah bahwa perasaan cemas akan membuat Anda menyadari bahwa Anda telah melakukan sesuatu yang menyebabkan kecemasan itu, dan kemudian membuat Anda berusaha menghindari hal-hal tersebut di masa mendatang," ujar seorang psikolog dan ahli biologi di Northeastern University yang tidak terlibat dalam penelitian ini, Jordan Theriault.
Peran Otak dalam Menetapkan Intuisi Moral
Tim peneliti juga mempelajari otak para peserta saat sedang tidur (istirahat), saat seseorang tidak melakukan tugas apapun. Tujuannya untuk mengetahui berapa lama otak seseorang berada dalam kondisi-kondisi tertentu, yaitu pola aktivitas otak yang muncul saat seseorang melakukan tugas berbeda.
Untuk menganalisis kondisi tersebut, tim peneliti menggunakan functional magnetic resonance imaging (fMRI) yang berfungsi melacak aliran darah sebagai ukuran tidak langsung aktivitas otak.
Keterbatasan Studi
Pada studi ini hanya melibatkan mahasiswa di Korea saja dengan latar belakang, usia, budaya serta moral yang relatif sama. Maka tidak dapat dijadikan tolok ukur secara global karena setiap tempat memiliki latar belakang budaya yang berbeda.
Keterbatasan juga terdapat pada proses pemindaian otak yang hanya dilakukan saat istirahat, bukan ketika mereka mengambil keputusan moral secara langsung. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai tubuh sebagai kompas moral dalam kehidupan sehari-hari.
Namun Kim menyampaikan, penelitian ini menetapkan kerangka teoritis baru untuk memahami perbedaan budaya dan individu dalam perilaku moral, serta memprediksi perilaku seseorang mengikuti norma dalam lingkungan kelompok atau daring.
Penulis adalah peserta program Magang Hub Kemnaker di detikcom.
(nah/nah)











































