Dari Mana Datangnya Sikap 'Ambis'? Begini Kata Ilmuwan

ADVERTISEMENT

Dari Mana Datangnya Sikap 'Ambis'? Begini Kata Ilmuwan

Siti Nur Salsabilah Silambona - detikEdu
Rabu, 10 Des 2025 08:00 WIB
Dari Mana Datangnya Sikap Ambis? Begini Kata Ilmuwan
Ilustrasi Foto: Thinkstock
Jakarta -

Setiap orang punya caranya sendiri untuk menyelesaikan tantangan. Ada yang langsung bergerak agar lebih baik dari orang lain, ada juga yang menghadapinya dengan santai dan fokus pada prosesnya.

Seperti jika kita menyaksikan pertandingan olahraga di bawah usia 12 tahun, dari pinggir lapangan terlihat sebagian anak berambisi untuk menang dan sebagian lainnya tetap santai dan justru lebih banyak berinteraksi dengan peserta lainnya.


Apa Itu Kompetitif?

Sikap kompetitif bukan sekadar "rasa ingin menang". Namun, kompetitif cenderung selalu ingin lebih baik dari orang lain. Mereka biasanya akan membandingkan hasil mereka dan hasil orang-orang di sekitarnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagi seorang kompetitif, membandingkan dirinya dengan orang lain, akan membuatnya merasa lega ketika sudah lebih baik dan apabila tidak lebih baik, mereka akan gelisah.

Seorang kompetitif biasanya memiliki sifat ekstroversi serta sangat teliti, dalam artian ambisi mereka begitu gigih, terarah dan bertekad kuat untuk maju.

ADVERTISEMENT

"Jika dilihat dari sisi evolusi, sifat kompetitif sangat penting untuk bertahan hidup. Bagi manusia yang merupakan makhluk sosial, dengan kompetitif mereka akan mendapat status, penghasilan, dan yang terpenting adalah hubungan," tulis Inge Gnatt, pengajar psikologi di Swinburne University of Technology, Australia seperti dikutip dari Phys.

Jadi, sikap kompetitif dapat muncul karena pengaruh kepribadian dan genetik. Namun, peran budaya dan lingkungan juga sangat berperan dalam membentuk sikap kompetitif.


Pengaruh Budaya dan Lingkungan

Lingkungan keluarga, sekolah dan tempat kerja yang berdaya saing tinggi, akan membentuk pribadi individu menjadi seorang kompetitif. Sedangkan lingkungan yang menekan individu untuk saling bekerja sama, akan mengurangi intensitas persaingan di lingkungan tersebut.

Selain itu, cara seseorang berkompetisi juga dipengaruhi oleh budaya di sekitarnya. Seseorang yang terbiasa dengan budaya individualitas tinggi, biasanya akan terang-terangan menunjukkan sikap kompetitifnya tanpa segan.

Sementara orang yang terbiasa dengan budaya kolektivisme atau berkelompok, sikap kompetitif yang timbul di antara individu cenderung samar. Namun, dapat terlihat saat mereka jaga jarak dengan sesama anggota, atau diam-diam membandingkan diri secara diam-diam.


Keunggulan dan Kelemahan "Kompetitif"

Seorang kompetitif memiliki motivasi tinggi karena tidak ingin kalah dari orang lain. Sikap ini membuat seseorang ingin terus berkembang dan belajar keras untuk bisa terus meraih prestasi dalam hidupnya. Dalam kondisi tertentu, sikap kompetitif menimbulkan efek positif. Misalnya saat dibandingkan dengan orang yang lebih baik, seorang kompetitif akan terpacu untuk memberikan hasil yang maksimal.

Namun, kelemahan dari sikap kompetitif seringkali berdampak pada tubuh dan pikiran seseorang. Seseorang dengan daya saing biasanya lebih rentan mengalami stress, cemas dan perasaan selalu merasa kurang. Hal serupa juga terjadi pada lingkungan akademis, perasaan untuk selalu 'menang' berpotensi meningkatkan kecemasan berlebih.

Sebuah studi menemukan dalam tes kemampuan otak atau neurokognitif, bahwa kemampuan otak seseorang ketika berkompetisi dengan orang yang lebih pintar cenderung meningkat, namun kondisi tubuh mereka menunjukkan tanda-tanda stres dan gairah fisiologis meningkat (kondisi jantung berdetak lebih cepat).

Sedangkan ketika seseorang melakukan kerja sama dengan individu yang tidak lebih pintar darinya, menunjukkan hasil yang sama baiknya, tanpa mengalami stres dan peningkatan gairah fisiologis.


Apa Sikap "Kompetitif" Bisa Diubah?


Walaupun sikap kompetitif dipengaruhi oleh kepribadian dan genetik, kabar baiknya sikap ini dapat diredam dengan cara-cara berikut:

  • Membiasakan diri dengan sikap kolaboratif atau bekerja sama, seperti belajar membantu dan berbagi dengan orang lain.
  • Mengubah cara pandang terhadap diri sendiri, dengan tidak memposisikan diri sebagai "nomor satu" dan "tidak terkalahkan dan mengusahakan yang terbaik bagi diri sendiri dan orang lain.
  • Melakukan pendekatan diri dengan melakukan terapi penerimaan dan komitmen (acceptance and commitment therapy) atau terapi berfokus pada kasih sayang (compassion-focused therapy) yang mampu menetralkan sikap kompetitif.


Jadi, saat detikers merasa "terpacu" saat berkompetisi, itu adalah hal yang wajar. Terkadang dengan bersaing, membuat kita lebih bersemangat dan termotivasi. Namun, penting diingat bahwa persaingan bukan berarti bertarung mati-matian. Seringkali, dengan bekerja sama atau bersikap santai dan tenang akan membuahkan hasil yang sama baiknya, tanpa harus mengorbankan otak dan pikiran saat stres.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video: Kenapa Orang Pintar Kadang Melakukan Hal Bodoh?"
[Gambas:Video 20detik]
(pal/pal)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads