Di Indonesia terjadi deforestasi besar-besaran hingga menimbulkan longsor dan banjir bandang. China sudah lama melakukan reforestasi alias menghutankan gurun selama puluhan tahun.
China punya alasan sangat kuat untuk reforestasi itu. Kalau detikers lihat peta China, di sana ada 2 gurun. Gurun Gobi di bagian utara China yang berbatasan dengan Mongolia dan Gurun Taklamakan di bagian barat China.
Tembok Hijau Raksasa/Great Green Wall Foto: (Royal Geographical Society) |
Sebab dua gurun itu terbentuk secara geografis alami, ada Pegunungan Himalaya yang membentang di bagian tengah barat China itu menciptakan bayangan hujan di perbatasan utara negara itu dengan Mongolia. Posisi ini mencegah curah hujan mencapai wilayah utara China, dengan curah hujan tahunan berkisar antara 100 hingga 250 mm. Bandingkan dengan China daratan yang curah hujannya bisa mencapai sekitar 1.500 mm. Akibatnya, terbentuklah Gurun Taklamakan dan Gurun Gobi yang luas totalnya mencapai lebih dari 1,6 juta kmΒ².
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dua gurun ini semakin meluas ke wilayah non gurun, istilahnya desertifikasi. Dilansir dari laman Royal Geographical Society, gurun-gurun ini meluas dengan cepat. Sekitar 3.600 kmΒ² padang rumput China hilang 'ditelan' Gurun Gobi setiap tahun, begitu pula 2.000 kmΒ² lapisan tanah atas. Dampaknya, tentu jadi tantangan ke pertanian yang ujung-ujungnya ke ketersediaan bahan pangan.
Belum lagi kalau ada badai gurun. Sebaran debu-debu gurunnya terbang dan terbawa ke seluruh China dan masuk ke kota-kota di pesisir timur. Debu ini, bersama dengan polusi industri, telah dituding sebagai penyebab polusi udara tingkat tinggi yang berbahaya di Beijing, karena dapat memerangkap partikulat di permukaan tanah.
Proyek Reforestasi Dimulai 1978
Penanaman pohon-pohon ini dimulai pada tahun 1978 dan dijadwalkan selesai pada tahun 2050. Pada saat itu, diperkirakan 'sabuk pohon' program ini akan membentang sepanjang 4.500 km, mencakup 100 miliar pohon, dan akan menjadi proyek rekayasa ekologi terbesar di dunia. 'Dinding' ini sudah menjadi hutan buatan terbesar di dunia.
Great Green Wall alias Tembok Hijau Raksasa telah menjadi salah satu metode yang diterapkan otoritas China untuk memperlambat penggurunan di wilayah ini. 'Tembok' ini sebenarnya berupa potongan-potongan pohon yang ditanam di area yang luas di China utara.
Pohon-pohon ini berfungsi sebagai penahan angin terhadap badai debu yang sering bertiup melintasi wilayah tersebut dari Gurun Gobi dan Taklamakan; badai yang memecah tanah dan mengurangi kapasitas pertanian di wilayah tersebut. Pohon juga digunakan untuk menstabilkan bukit pasir di beberapa daerah, dan lapisan kerikil ditempatkan untuk mendorong pembentukan kembali kerak tanah.
Proyek penghijauan besar lainnya di China adalah Grain for Green dan Program Perlindungan Hutan Alam, yang keduanya dimulai pada tahun 1999. Program Grain for Green memberi insentif kepada petani untuk mengubah lahan pertanian menjadi hutan dan padang rumput, sementara Program Perlindungan Hutan Alam melarang penebangan di hutan primer dan mendorong penghijauan.
Hasil Reforestasi Sejak 1978
Selama lima dekade terakhir, Tembok Hijau Raksasa telah membantu meningkatkan tutupan hutan dari sekitar 10% wilayah China pada tahun 1949 menjadi lebih dari 25% saat ini - sebuah wilayah yang setara dengan luas Aljazair, demikian dilansir dari Live Science.
Penelitian terbaru dari Lembaga Penelitian Ilmu Geografi dan Sumber Daya Alam di Beijing menunjukkan dampak positif 'tembok' ini yakni berkurangnya intensitas badai debu dapat dijelaskan oleh sedikit peningkatan curah hujan yang secara alami akan meredam dampak badai debu seperti dilansir dari RGS.
Profesor Minghong Tan, kepala peneliti dalam studi ini, menemukan bahwa berkurangnya intensitas badai debu dapat dikaitkan dengan penanaman pohon secara besar-besaran di China utara. Tutupan vegetasi memang signifikan dalam mengurangi dampak penggurunan. Frekuensi badai debu terus menurun sejak tahun 1971 dan Tan menemukan bahwa hingga tahun 1999, penurunan ini mencapai 81,7 persen dibandingkan dengan tingkat tahun 1985, sesuatu yang secara langsung ia kaitkan dengan 'Tembok Hijau Raksasa'.
Efek Samping Reforestasi: Distribusi Siklus Air Tak Rata
Penanaman pohon di wilayah kering memberikan tekanan yang lebih besar pada pasokan air yang sudah terbatas. Di wilayah Minqin, di wilayah utara tengah China, curah hujan terlalu rendah untuk mengisi kembali akuifer dan beberapa permukaan air tanah telah turun hingga 19 meter.
Antara tahun 2001 dan 2020, perubahan tutupan vegetasi mengurangi jumlah air tawar yang tersedia bagi manusia dan ekosistem di wilayah timur hingga barat laut China, mencakup 74% dari luas daratan China, demikian menurut sebuah studi yang diterbitkan 4 Oktober di jurnal Earth's Future. Selama periode yang sama, ketersediaan air meningkat di wilayah Dataran Tinggi Tibet Tiongkok, yang merupakan sisa wilayah daratan.
"Kami menemukan bahwa perubahan tutupan lahan mendistribusikan kembali air," ujar Arie Staal, asisten profesor ketahanan ekosistem di Universitas Utrecht di Belanda, yang terlibat penelitian ini.
Selain memulihkan ekosistem yang berkembang pesat, reforestasi ini ini juga telah mengaktifkan kembali siklus air. Tiga proses utama yang memindahkan air antara benua-benua Bumi dan atmosfer: evaporasi dan transpirasi membawa air ke atas, sementara presipitasi menurunkannya kembali. Evaporasi menghilangkan air dari permukaan dan tanah, dan transpirasi menghilangkan air yang telah diserap tanaman dari tanah. Bersama-sama, proses-proses ini disebut evapotranspirasi, dan ini berfluktuasi seiring dengan tutupan tanaman, ketersediaan air, dan jumlah energi matahari yang mencapai daratan.
Penghijauan kembali telah mengubah siklus air China secara drastis, meningkatkan evapotranspirasi dan presipitasi. Untuk menyelidiki dampak ini, para peneliti menggunakan data evapotranspirasi, presipitasi, dan perubahan penggunaan lahan beresolusi tinggi dari berbagai sumber, serta model pelacakan kelembapan atmosfer.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa evapotranspirasi meningkat lebih besar secara keseluruhan daripada presipitasi, yang berarti sebagian air hilang ke atmosfer. Namun, tren ini tidak konsisten di seluruh China, karena angin dapat mengangkut air hingga 4.350 mil (7.000 kilometer) dari sumbernya - yang berarti evapotranspirasi di satu tempat sering kali memengaruhi presipitasi di tempat lain.
Para peneliti menemukan bahwa perluasan hutan di wilayah timur China dan restorasi padang rumput di wilayah lain di China meningkatkan evapotranspirasi, tetapi curah hujan hanya meningkat di wilayah Dataran Tinggi Tibet, sehingga wilayah lain mengalami penurunan ketersediaan air.
"Meskipun siklus air lebih aktif, pada skala lokal, lebih banyak air yang hilang daripada sebelumnya," kata Staal.
Hal ini memiliki implikasi penting bagi pengelolaan air, karena air di China sudah terdistribusi secara tidak merata. Wilayah utara memiliki sekitar 20% air negara tetapi merupakan rumah bagi 46% populasi dan 60% lahan subur.
"Pemerintah China sedang berupaya mengatasi hal ini namun langkah-langkah tersebut kemungkinan akan gagal jika redistribusi air akibat penghijauan kembali tidak diperhitungkan," demikian pendapat Staal dan rekan-rekannya.
Tahun 2024 lalu, perwakilan pemerintah mengumumkan bahwa China telah selesai mengelilingi gurun terbesarnya dengan vegetasi, tetapi akan terus menanam pohon untuk mengendalikan penggurunan.
Simak Video "Video: Memanas! Jepang Murka Kapal China Masuk Perairan Senkaku"
[Gambas:Video 20detik]
(nwk/nwk)












































