Di tengah meningkatnya kekhawatiran global soal polusi plastik yang terus mencemari lingkungan, baik di darat maupun di laut, plastik biodegradable kini disebut sebagai solusi karena dianggap lebih mudah terurai dan ramah lingkungan.
Benarkah plastik biodegradable lebih ramah lingkungan daripada plastik biasa? Berikut ini penjelasannya!
Produksi plastik global telah mencapai sekitar 400 juta ton pada 2022 dan diprediksi akan meningkat dua kali lipat pada 2050. Sebagian besar plastik itu hanya digunakan sekali pakai. Sementara tingkat daur ulang global masih berada di bawah 10%.
Situasi ini menunjukkan masalah polusi plastik bukan hanya soal pengelolaan sampah, tetapi juga cara produksi dan penggunaan plastik. Salah satu solusi yang diusulkan adalah penggunaan bahan alternatif, seperti plastik biodegradable.
Sebuah studi yang terbit di jurnal Nature pada Juli 2025 mengungkap lebih dari 16.325 bahan kimia yang diketahui digunakan dalam proses pembuatan plastik. Sekitar 4.200 di antaranya dikategorikan berbahaya karena bersifat beracun, sulit terurai, atau dapat menumpuk dalam tubuh manusia maupun hewan.
Susanne Brander, profesor di Coastal Oregon Marine Experiment Station, mengatakan bahan kimia ini dapat masuk ke plastik baik secara sengaja maupun tidak sengaja sepanjang siklus hidupnya.
"Tidak ada cara untuk memprediksi berapa banyak bahan kimia yang ada dalam satu produk plastik," kata Brander, dikutip dari LiveScience.
"Inti terbesarnya adalah tidak ada satu pun jenis plastik yang bisa disebut benar-benar aman. Semuanya mengandung campuran bahan yang berpotensi berbahaya," lanjut Brander.
Saat ini, hanya sekitar 6% dari seluruh bahan kimia yang digunakan dalam produksi plastik yang telah diatur di tingkat internasional. Sementara di tingkat nasional, jumlah bahan kimia yang memiliki regulasi juga terbatas sekitar 1.000 jenís.
Saat terpapar di lingkungan alam, plastik akan terurai menjadi potongan yang semakin kecil hingga membentuk mikroplastik berukuran kurang dari 5 milimeter. Mikroplastik ini menjadi salah satu bentuk polusi utama di laut dan pesisir. Partikel kecil tersebut juga dapat menyerap bahan kimia beracun, termasuk zat pengganggu hormon.
Dampak Mikroplastik terhadap Gen Manusia
Penelitian terbaru menemukan mikroplastik dalam organ dan jaringan manusia, yang dikaitkan dengan efek seperti penuaan sel, stres oksidatif, peradangan, hingga perubahan ekspresi gen.
Para peneliti ini juga menemukan jumlah nano plastik di laut kini hampir setara dengan mikroplastik. Partikel ini berukuran sangat kecil, yaitu kurang dari satu mikrometer. Sebagai perbandingan, diameter sehelai rambut manusia sekitar 100 mikrometer.
Diperkirakan lapisan permukaan Samudra Atlantik Utara terdapat mengandung sekitar 27 juta ton nano plastik.
Plastik Biodegradable
Salah satu solusi yang kerap dibicarakan untuk mengatasi polusi plastik adalah penggunaan plastik biodegradable, yaitu plastik yang dapat terurai oleh mikroorganisme menjadi air, karbon dioksida, dan biomassa.
Namun, proses penguraian ini bergantung pada kondisi lingkungan seperti suhu, cahaya, tingkat kelembapan, hingga keberadaan oksigen. Sementara itu, istilah kompos atau compostable yaitu plastik yang hanya dapat terurai dalam kondisi tertentu yang biasanya dibuat oleh manusia.
Dalam sebuah surat ilmiah di jurnal Science pada Juni 2025, para peneliti menegaskan bahwa plastik biodegradable saat ini dibuat dari campuran bahan hayati dan bahan berbasis minyak bumi.
Ketika terpapar lingkungan, bahan-bahan tersebut dapat melepaskan zat berbahaya seperti bisphenol A (BPA) dan terephthalic acid, yang diketahui dapat mengganggu sistem hormon, reproduksi, kekebalan tubuh, hingga memicu perubahan genetik.
Para peneliti menilai pengembang plastik biodegradable perlu memastikan plastik biodegradable dapat terurai sepenuhnya di lingkungan tanpa meninggalkan mikroplastik atau zat berbahaya. Sementara sebagian peneliti juga menyarankan menghentikan penggunaan bahan kimia beracun dalam produksi plastik secara keseluruhan.
Tantangan plastik biodegradable tidak hanya terletak pada bagaimana plastik tersebut terurai di lingkungan, tetapi juga pada sumber bahan bakunya. Salah satu contohnya adalah asam polilaktat (PLA), yang dibuat dari tanaman seperti jagung atau tebu.
Menurut Plastic Pollution Coalition, bahan ini membutuhkan praktik pertanian intensif yang berpotensi memicu deforestasi dan mencemari sumber air. Saat ini, bioplastik hanya mewakili sekitar 1% dari total produksi plastik global.
Namun, untuk memproduksinya dibutuhkan sekitar 800.000 hektare lahan pertanian. Selain itu, proses produksi dan pengolahannya umumnya dilakukan di fasilitas industri yang menggunakan energi berbasis bahan bakar fosil.
Selulosa asetat (CDA) adalah jenis bioplastik yang dibuat dari pulp kayu yang diproses menggunakan asam asetat. Material ini dibuat dari pulp kayu yang diproses menggunakan asam asetat dan sudah banyak digunakan dalam produk sehari-hari seperti sedotan, filter, dan bungkus makanan.
Sebuah penelitian yang dipresentasikan dalam forum tentang mikroplastik laut yang diselenggarakan NOAA menunjukkan bahwa bahan berbasis CDA hampir tidak dapat terurai secara alami di lingkungan laut.
Penelitian berikutnya menunjukkan mikroba mampu memecah CDA dalam berbagai kondisi, mulai dari tanah, instalasi pengolahan air limbah, hingga ekosistem laut.
Brander mencatat bahwa pengujian terhadap plastik biodegradable menunjukkan bahwa material ini dapat terurai menjadi mikroplastik dan nanopartikel, sama seperti plastik konvensional. Selain itu, partikel tersebut juga bisa mengandung campuran bahan kimia yang serupa, sehingga potensi dampak lingkungannya tetap perlu diperhatikan.
Menurut Brander, klaim tentang plastik biodegradable yang mudah terurai tidak selalu sesuai dengan kenyataan di lapangan.
"Ketika saya membaca penelitian yang menyatakan sebuah bahan terurai sepenuhnya, klaim itu sering hanya berlaku di laboratorium. Di dunia nyata, kondisi seperti suhu atau lingkungan yang tepat mungkin tidak ada," kata Brander.
Untuk meneliti hal ini, ilmuwan di Woods Hole Oceanographic Institution, Massachusetts, menggunakan tangki air laut yang meniru kondisi pesisir alami. Mereka menguji bentuk busa dan padat dari selulosa diasetat (CDA) selama beberapa bulan.
Hasilnya menunjukkan bahwa versi busa terurai lebih cepat karena permukaannya lebih luas, memungkinkan mikroba memecah bahan menjadi karbon dioksida dan air.
Menurut Collin Ward, seorang ahli kimia laut di WHOl dan penulis utama dalam penelitian ini, bentuk fisik bahan juga mempengaruhi seberapa cepat plastik dapat terurai.
"Membuat bahan dalam bentuk busa menghasilkan lebih banyak permukaan bagi mikroba untuk menempel, sehingga mempercepat degradasi," kata Ward.
Penelitian ini berfokus pada kondisi laut pesisir karena sebagian besar plastik berakhir di sana, namun CDA juga dapat terurai di kondisi lain.
"Ini adalah teknologi yang menjanjikan. CDA tidak akan menggantikan semua styrofoam, tetapi penting untuk mencari alternatif bagi material yang paling banyak mencemari lingkungan," tambahnya.
Dalam laporannya, Ward menyebut bahwa sekitar 15% plastik yang ditemukan di survei pantai global pada 2022 adalah wadah makanan berbahan busa.
Plastik alternatif tetap menghadapi tantangan besar karena masih mendorong budaya barang sekali pakai. Meskipun biodegradable dapat terurai dalam beberapa minggu atau bulan, tumpukan sampah tetap menumpuk jika produksi plastik tidak dikurangi.
Laporan National Academies menekankan bahwa salah satu langkah utama untuk menangani polusi plastik adalah mengurangi produksi secara keseluruhan, yang juga menjadi tujuan penting dalam rancangan perjanjian PBB.
Salah satu strategi adalah memprioritaskan penggunaan plastik yang benar-benar penting. Misalnya, rata-rata kantong plastik hanya digunakan selama 12 menit sebelum dibuang.
"Apakah kita benar-benar perlu membuat sesuatu yang hanya digunakan 12 menit lalu dibuang? Plastik sebaiknya digunakan untuk hal-hal yang benar-benar penting, misalnya untuk menyelamatkan nyawa, bukan sekadar membawa belanjaan," kata Brander.
Penulis merupakan peserta program MagangHub Kemnaker di detikcom.
Simak Video "Rahasia Kencana Baja Ringan Bikin Proyek Lebih Cepat dan Ramah Lingkungan!"
(nah/nah)