Bumi pernah mengalami peristiwa kepunahan massal sekitar 250 juta tahun lalu, dengan 95 persen biota laut musnah. Baru-baru ini, studi mengungkapkan fosil purba yang ditemukan di Arktik yang menjelaskan bagaimana Bumi pulih setelah kepunahan massal.
Diketahui, bahwa kepunahan massal terjadi akibat meningkatnya suhu air laut, sampai menyentuh angka 40Β°C. Kondisi ini membuat hewan-hewan laut mati karena kekurangan oksigen.
Alih-alih memakan waktu lama untuk pulih, di beberapa titik mengalami pemulihan lebih cepat. Hal ini dibuktikan dengan penemuan lapisan tulang berusia 249 tahun di lereng Gunung Marmier oleh para ilmuwan. Temuan tersebut diperkirakan mengandung lebih dari 300.000 fosil laut yang terdiri dari tulang, gigi dan koprolit atau fosil kotoran hewan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penemuan fosil di wilayah yang saat ini bernama Svalbard, menawarkan peluang baru bagi para ilmuwan. Bagaimana lautan pulih lebih cepat setelah kepunahan massal Permian yang memusnahkan hampir seluruh kehidupan bumi 252 juta tahun lalu.
Bukti Bumi Pulih dari Era Kepunahan Massal
Ilmuwan yang memimpin penelitian, Dr Aubrey Roberts, menyebut bahwa fosil-fosil yang berhasil ditemukan mencakup berbagai jenis ikan bertulang, hiu, dan reptil laut.
Aubrey menyampaikan bahwa, tidak seperti di China yang menunjukkan pemulihan bertahap setelah kepunahan massal selama kurang lebih delapan juta tahun, penemuan di Svalbard merupakan proses yang berbeda.
Para ilmuwan menyimpulkan pulihnya ekosistem secara cepat setelah kepunahan massal sebagai pertanda baik. Penemuan keanekaragaman biota laut seperti ikan, hiu serta amfibi dan reptil laut berpotensi menopang kehidupan kita selama beberapa dekade mendatang.
Penemuan fosil hewan di Svalbard pada 2014, kemungkinan besar tidak terjadi di lokasi lain. Menurut peneliti, tempatnya terpencil di Gunung Arktik, sehingga dibutuhkan lebih dari satu dekade untuk mengungkap fosil dari situs tersebut.
"Butuh waktu bertahun-tahun untuk menggali lapisan tulang ini. Karena berada di pegunungan di Lingkaran Arktik, mempelajarinya terkadang cukup menantang!" ujar Aubrey.
Penemuan Amfibi Arktik
Aubrey mengatakan, penemuan lapisan tulang berisikan fosil hewan laut yang diperkirakan tersapu oleh arus kuat sehingga tertimbun di dasar laut. Ini menjadi bukti bahwa laut tersebut dulunya merupakan laut hidup tempat tinggal banyak biota laut.
Kelompok hewan kecil bernama conodont yang terdiri dari cumi-cumi, ikan dan hewan tanpa rahang menjadi penghuni dasar rantai makanan di laut tersebut. Mereka adalah santapan bagi ikan predator purba atau Birgeria dan Grippia yaitu nenek moyang ichthyosaurus.
Ditemukan juga predator lain pemakan cangkang seperti hiu Lissodus dan reptil laut Omphalosaurus. Gigi-gigi mereka yang tajam berfungsi untuk merobek daging ikan, reptil laut, dan hewan lainnya, menjadikannya predator puncak ekosistem.
Pada ekosistem tersebut juga menyimpan kejutan dengan penemuan fosil amfibi purba bernama temnospondyl.
"Cukup mengejutkan menemukan temnospondyl laut di sini, karena biasanya kita tidak menemukan mereka bersama reptil laut," kata Aubrey.
"Fosil mereka cukup langka di lapisan tulang, setidaknya dibandingkan dengan reptil, yang menunjukkan beberapa kemungkinan," jelasnya.
Temnospondyl merupakan fosil individu yang menyimpang karena, masih belum jelas mengenai kehidupan amfibi ini di masa lampau, entah mereka hidup lebih dekat atau lebih jauh dari laut tersebut.
"Masih banyak yang harus dipelajari, dan kami berencana untuk mulai meneliti berbagai jenis gigi yang telah kami temukan untuk melihat apa yang terungkap tentang hewan yang hidup di sini dan hubungan mereka," tambah Aubrey.
Penulis adalah peserta program MagangHub Kemnaker di detikcom.
(faz/faz)











































