Anak Berbakat Belum Tentu Juara Kelas, Begini Penjelasan Studi

ADVERTISEMENT

Anak Berbakat Belum Tentu Juara Kelas, Begini Penjelasan Studi

Callan Rahmadyvi Triyunanto - detikEdu
Rabu, 03 Des 2025 09:00 WIB
Anak Berbakat Belum Tentu Juara Kelas, Begini Penjelasan Studi
Ilustrasi anak. Foto: Shutterstock/
Jakarta -

Detikers, seringkali kita berpikir anak pintar selalu meraih nilai sempurna di sekolah. Sebenarnya, banyak anak berbakat justru tidak menempati peringkat teratas.

Lalu, apa yang membedakan mereka dan bagaimana orang tua serta guru bisa menilai potensi sesungguhnya di luar nilai rapor? Simak penjelasannya dalam artikel ini.

Diketahui beberapa anak memiliki IQ di persentil 99,9, tetapi kesulitan untuk duduk tenang; menyelesaikan tugas; atau justru terlalu fokus pada nilai.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penelitian dari Universitas Alicante, Spanyol, menunjukkan kemampuan intelektual dan prestasi sekolah tidak selalu saling berkaitan seperti yang banyak orang kira.

Bakat Tidak Selalu Terlihat dari Nilai atau Tes

Dalam pendidikan, kecerdasan luar biasa atau giftedness, yaitu kemampuan yang sangat maju di satu atau beberapa bidang, tidak hanya diukur melalui nilai ujian tinggi.

ADVERTISEMENT

Dikutip dari earth.com, anak-anak berbakat menunjukkan kemampuan belajar dan berpikir yang jauh melampaui rata-rata teman sekelas mereka, sekaligus berasal dari berbagai latar belakang ras; budaya; dan ekonomi; seperti dicatat National Association for Gifted Children (NAGC).

Penelitian kognitif menunjukkan banyak anak berbakat memproses informasi lebih cepat dan mampu menangani lebih banyak aspek dari suatu masalah sekaligus dibandingkan teman sebaya. Kecepatan berpikir ini memungkinkan mereka menguasai materi pelajaran dengan cepat, tetapi juga dapat menimbulkan kebosanan ketika pelajaran berlangsung lambat atau terlalu mudah.

Seorang anak berbakat berusia delapan tahun mungkin membaca seperti anak SMP, tetapi masih kesulitan mengikat sepatu atau marah karena kalah dalam permainan. Para peneliti menyebut hal ini sebagai perkembangan asinkron, yaitu pertumbuhan yang tidak seimbang antara kemampuan berpikir, keterampilan sosial, dan emosional.

Tinjauan sistematis terbaru dari 17 penelitian menunjukkan dalam mengenali anak berbakat di sekolah, sebaiknya fokus diberikan pada kemampuan berpikir secara umum dan kemampuan memecahkan masalah, bukan hanya mengandalkan skor IQ atau prestasi akademik.

Mengelola Perasaan Anak Berbakat

Anak-anak berbakat cenderung mengalami emosi dengan intensitas yang lebih tinggi dibandingkan anak seusianya. Mereka dapat bereaksi secara kuat terhadap ketidakadilan, cerita yang menyedihkan, atau perubahan kecil dalam rutinitas sehari-hari.

Selain itu, banyak anak berbakat mulai mengajukan pertanyaan besar tentang kehidupan lebih awal daripada teman sebaya. Mereka sering penasaran mengenai isu-isu berat seperti kematian, kemiskinan, perubahan iklim, atau alasan di balik perilaku menyakiti orang lain. Misalnya, cerita sederhana tentang perundungan di taman bermain bisa memicu diskusi panjang bagi mereka, sebagai contoh tentang bagaimana masyarakat seharusnya bekerja atau konsep keadilan.

Pemahaman mereka berkembang lebih cepat dibandingkan kemampuan mereka dalam mengatasi masalah, anak-anak berbakat bisa merasa kewalahan oleh kekhawatiran yang belum siap mereka tangani.

Nilai Bukan Satu-Satunya Ukuran Anak Berbakat

Di setiap kelas, anak-anak berbakat sering mempelajari materi baru jauh lebih cepat daripada yang dijadwalkan dalam kurikulum. Mereka kerap menghadapi pelajaran yang mengulang hal-hal yang sebenarnya sudah mereka kuasai.

Beberapa siswa bahkan termasuk dalam kategori twice exceptional, yaitu anak-anak yang sekaligus berbakat dan memiliki disabilitas atau kesulitan belajar tertentu. Kondisi ini membuat pengalaman sekolah menjadi lebih menantang.

Guru dan orang tua kadang memiliki anggapan bahwa anak berbakat selalu teratur, sopan, dan termotivasi. Ketika seorang anak tampak berantakan, gelisah, atau sulit fokus, mereka bisa keliru menilai anak tersebut sebagai malas, justru anak itu sebenarnya memiliki kemampuan kognitif yang tinggi.

Stereotip semacam ini dapat menjadi penghalang bagi anak-anak untuk direkomendasikan mengikuti program lanjutan atau kelas khusus. Hal ini terutama berdampak pada siswa dari keluarga berpenghasilan rendah atau komunitas yang kurang terwakili, sehingga bakat mereka berisiko tidak mendapatkan kesempatan untuk berkembang secara optimal.

Mendukung Pertumbuhan Anak Berbakat di Sekolah dan Rumah

Keluarga yang ingin memahami anak berbakat dapat memulai dengan mencatat contoh konkret tentang pola pikir yang maju, intensitas emosi yang tinggi, serta tantangan atau kesulitan belajar yang mereka alami. Membagikan catatan tersebut kepada dokter anak atau psikolog sekolah dapat memudahkan proses penentuan apakah anak perlu menjalani evaluasi menyeluruh.

Di rumah maupun di kelas, orang dewasa dapat membantu anak-anak berbakat dengan mengakui emosi yang mereka rasakan secara intens dan mengajarkan keterampilan sederhana untuk mengelolanya. Selain itu, menjaga harapan yang realistis terkait keterampilan hidup seperti kemampuan mengatur diri.

Ketika anak berbakat mendapatkan kombinasi yang tepat antara tantangan akademik, pengertian, dan perhatian terhadap kesehatan mental, potensi unik mereka dapat berkembang dengan optimal. Manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh anak itu sendiri, tetapi juga dapat memberi dampak positif pada lingkungan dan komunitas di sekitarnya.

Penulis adalah peserta program MagangHub Kemnaker di detikcom.




(nah/nah)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads