Bullying 4.0: Kekerasan Didorong Algoritma

ADVERTISEMENT

Bullying 4.0: Kekerasan Didorong Algoritma

Trisna Wulandari - detikEdu
Rabu, 19 Nov 2025 20:00 WIB
Window, smartphone and girl on social media, connection and search internet in house. Young female, kid and child with phone, online reading or communication being calm, playing games, device or chat
Kasus bullying terus merebak di kalangan anak. Psikolog jelaskan peran media sosial beserta langkah yang perlu diambil sekolah dan orang tua. Foto: Getty Images/AlexanderFord
Jakarta -

Kasus kekerasan dan perundungan (bullying) yang dialami anak usia sekolah di berbagai daerah baru-baru ini turut menyorot bentuk-bentuk bullying. Tidak hanya bullying verbal dan fisik secara tatap muka, perundungan juga memasuki ranah siber (cyberbullying), termasuk di media sosial.

Dana Anak-anak PBB (Unicef) dalam laman resminya menjelaskan cyberbullying atau perundungan dunia maya adalah bullying yang menggunakan teknologi digital. Cyberbullying dapat terjadi di media sosial, platform chatting, game, dan ponsel.

Cyberbullying merupakan perilaku berulang. Tujuannya untuk menakuti, membuat marah, atau mempermalukan orang yang menjadi sasaran.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berdasarkan hasil Jajak Pendapat: #ENDViolence Global Poll 2019 UReport Unicef pada 2.777 anak muda Indonesia usia 14-24 tahun, 45% responden melaporkan pernah mengalami cyberbullying. Tingkat cyberbullying yang dilaporkan anak laki-laki sedikit lebih tinggi (49%) daripada yang dilaporkan anak perempuan (41%).

Sementara itu, Laporan Data Kasus Kekerasan di Lembaga Pendidikan 2024 dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan 537 kasus yang tercatat terjadi di lingkungan sekolah, madrasah, pesantren, asrama sekolah, dan luar sekolah. Bullying menjadi kasus kedua terbanyak (31%) setelah kekerasan seksual (42%), disusul kekerasan psikis (11%), kekerasan fisik (10%), dan kebijakan diskriminatif (6%).

ADVERTISEMENT

Bullying dan Algoritma Media Sosial

President of ASEAN Regional Union Psychological Societies (ARUPS) Dr Andik Matulessy, MSi, Psikolog, mengatakan durasi penggunaan media sosial turut berpengaruh pada tindakan cyberbullying. Dalam hal ini, anak berisiko terus-menerus terpapar konten senada yang tidak sepenuhnya benar dan tidak lengkap.

Di samping itu, tanpa pengawasan dan bimbingan, anak menurutnya juga jadi cenderung menginterpretasikan sendiri informasi yang diperoleh di media sosial tanpa mengonfirmasinya dengan informasi yang lain.

"Jadi informasi pertama dia dapat, dia yakini, tidak lagi melakukan check and balance," ucapnya pada detikEdu, Rabu (19/11/2025).

Platform media sosial juga memungkinkan pengguna bersembunyi di balik second account dan fake account. Meyakini identitasnya tertutup, anak menurut Andik menjadi lebih berani mengungkapkan pendapat negatif tanpa takut ketahuan.

"Baik itu melukai orang, memberikan respons negatif pada orang lain, mereka semakin berani di balik fake account," ujarnya mencontohkan.

Pelarian Stres ke Medsos

Andik mengatakan, cyberbullying di media sosial tak hanya soal peluang berpendapat tanpa bertanggung jawab yang disetel. Faktor stres, ketidaknyamanan, dan ketidaksukaan pada sesuatu turut berpengaruh dalam mendorong anak menggunakan media sosial untuk mengungkapkan emosi negatif.

Ia menggarisbawahi, pergeseran cara mengungkapkan emosi dari menulis buku harian (journaling) ke media sosial menurutnya tidak bebas risiko. Respons pengguna lain atas salah kata atau salah pendapat yang ia kemukakan bisa membuat seseorang makin stres.

Terkait hal ini, Andik juga menyorot risiko korban bullying menjadi pelaku bullying. Ia menjelaskan, pada konteks dampak pasif, korban perundungan dapat menjadi makin rendah diri, atau hingga bunuh diri.

Korban Jadi Pelaku

Di sisi lain, ia mengatakan, korban bullying juga berisiko mengungkapkan emosi negatif ke dalam bentuk-bentuk kekerasan ke publik, termasuk cyberbullying via media sosial.

Jika korbannya jatuh, momen tersebut berisiko menjadi reward baginya, mendorong untuk melakukan hal sama terus menerus.

"Akhirnya, muncul pola perilaku yang negatif: pola perilaku yang suka melukai orang, melakukan kekerasan, menganggap bahwa kekerasan itu jalan yang terbaik untuk menyelesaikan masalah," kata Ketua Umum Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) tersebut.

Pelaku Tak Aman

Andik mengingatkan, pelaku bullying tidak akan selalu aman, sekalipun melakukan perundungan dalam bentuk cyberbullying. Ia menjelaskan, fake account media sosial sekalipun memiliki jejak yang dapat ditelusuri.

Ketika kejadian perundungan mencuat, pelaku berisiko merusak masa depan sendiri, baik di ranah personal, akademis, maupun profesional.

"Dia akan dihakimi masyarakat, dia akan dianggap buruk. Dan juga tentunya agak sulit suatu saat, misalnya mencari pekerjaan, mencari peluang-peluang masa depannya. Itu malah kalau ketahuan, bisa jadi persoalan lebih parah lagi," ucapnya.

"Apalagi misalnya kalau kita lihat, misalnya, beasiswa-beasiswa itu dia juga akan melihat bagaimana seseorang itu berperilaku di media sosial. (Untuk) bekerja di perusahaan itu sekarang juga diminta," imbuh akademisi Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya ini.

Menangani Perundungan

Bagi sekolah, ia mengatakan, ada Permendikbudristek No 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan yang dapat diimplementasikan, baik dalam mengantisipasi maupun menindak lanjut kejadian perundungan fisik atau siber.

"Karena begini, sekecil apapun kekerasan, itu akan memberi dampak psikologis; dampak fisik dan psikologis yang berkepanjangan. Itu yang harus hati-hati," ucapnya.

"Pada saat tidak ditindak tegas, maka seakan-akan perilaku kekerasan tersebut dibolehkan di lingkungan sekolah atau kampus," imbuhnya.

Sementara itu, saat anak menunjukkan tanda melakukan sesuatu yang mengarah ke hal negatif, orang tua perlu memberikan kesempatan bagi anak untuk bertemu tenaga profesional yang memiliki pengetahuan dalam pendeteksian masalah psikologis dan penyelesaiannya.

"Psikolog akan deteksi dulu, kira-kira ia mengalami masalah apa, baik dengan menggunakan inventor, alat-alat tes, maupun dalam wawancara atau tes," ucapnya.

"Jangan sampai malah sudah parah, baru ke psikolog. Karena akan semakin lama untuk melakukan penyembuhannya," lanjutnya.

Haruskah Media Sosial Dibatasi?

Dikutip dari eSafety Commissioner Pemerintah Australia, negara tetangga RI ini akan membatasi media sosial untuk anak dan remaja mulai 10 Desember 2025. Pembahasannya dimulai sejak bocornya dokumen Meta pada 2021 memicu kesadaran bahaya media sosial bagi anak.

Di Indonesia sendiri, wacana serupa belum masif dibicarakan. Sementara itu, Andik mengatakan, orang tua perlu menjadi bagian penting dalam pengawasan penggunaan media sosial oleh anak. Ia mencontohkan, anak tidak boleh memiliki akun yang tidak bisa diakses orang tua.

Ia mengingatkan, untuk mengawasi penggunaan media sosial yang sehat oleh anak, orang tua maupun guru harus memiliki literasi digital memadai.

"Harus dibangun literasi digital tidak hanya pada anak-anak, tapi juga pada orang tua dan guru," tuturnya.




(twu/faz)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads