Kasus dugaan bullying di sekolah di berbagai daerah masih mencuat sepanjang 2025. Sebelumnya pada 2024, survei Ipsos sudah menyorot kekhawatiran orang tua pada bullying dan kesehatan mental anak.
Berdasarkan laporan What the Future: Parenting, isu kesehatan mental paling dikhawatirkan orang tua (37%) dalam membesarkan anak, disusul perundungan atau bullying (35%), seksualisasi anak-anak (32%), penculikan atau perdagangan anak (28%), dan keamanan fisik di sekolah (27%).
Temuan ini didasarkan pada survei Ipsos pada 18-22 Januari 2024 pada 614 orang tua yang memiliki anak berusia di bawah 18 tahun dan orang dewasa AS yang berencana untuk memiliki anak di masa depan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pakar Ilmu Keluarga IPB University Prof Dwi Hastuti menyebut temuan ini masuk kategori 'peringatan dini'.
"Kekhawatiran orang tua dengan jumlah di atas 30 persen tentu sudah warning. Idealnya, tidak ada orang tua yang merasa khawatir karena lingkungan harusnya aman bagi anak-anak," kata Dwi dalam keterangan kampus, dikutip Jumat (14/11/2025).
Tantangan Parenting
Tingginya angka kekhawatiran orang tua menurut Dwi menunjukkan ada tantangan besar dalam proses pengasuhan. Ia menjelaskan, anak masa kini rentan terpengaruh oleh perilaku yang dipertontonkan di media sosial, media film, maupun lagu yang kontennya tidak sesuai dengan usia anak, termasuk yang bermuatan pornografi dan kekerasan.
"Anak yang tidak dididik dan diasuh oleh orang tua yang sadar akan paparan tersebut akan mudah terpengaruh. Apalagi jika lingkungan sekolah dan masyarakat justru memperkuat perilaku kekerasan ataupun perilaku asusila," sambungnya.
Keluarga Fondasi Utama
Ia menambahkan, keluarga merupakan fondasi utama pembentukan karakter anak, kendati sekolah, masyarakat, dan pemerintah juga mengemban tanggung jawab besar dalam pembentukan moral anak muda.
Agar perkembangan moral dan emosi anak berjalan dengan baik, ia menekankan, emosi positif perlu disampaikan pada anak sejak dini. Cara ini memungkinkan anak memiliki kelekatan emosional dan konsep diri yang sehat. Di samping itu, pendidikan karakter juga perlu diterapkan.
Usul Pengasuhan Berjenjang
Prof Dwi mengatakan, program pengasuhan berjenjang berdasarkan tingkat urgensi juga dapat dilakukan. Pada jenjang primer, anak mendapat tindakan promotif seperti sosialisasi dan edukasi yang mendukung pembangunan moralnya.
"Adapun level sekunder dengan tindakan preventif, yaitu memberikan layanan konsultasi dan konseling kepada anak yang membutuhkan," kata Dwi.
"Level tersier lebih bersifat kuratif, dengan memberikan layanan rehabilitasi sosial pada anak yang terjerat penggunaan NAPZA atau dengan menerapkan family-based care alternative," sambungnya.
Penguatan Pengasuhan
Di samping itu, penguatan pengasuhan menurutnya juga perlu dilakukan dengan mengakomodasi nilai-nilai spiritual dan religius. Dalam praktiknya, anak menerima pesan tentang kasih sayang, empati, dan tanggung jawab lewat beragam kanal komunikasi. Cara ini menurutnya dapat membangun nilai-nilai tersebut dengan baik pada anak.
Ia menggarisbawahi, keluarga, sekolah, dan pemerintah harus bersama-sama mengatasi krisis moral anak bangsa.
"Dengan kolaborasi dan nilai-nilai moral yang kuat, kita dapat menciptakan generasi berakhlak mulia dan berdaya saing tinggi, tanpa kehilangan jati diri," ucapnya.
(twu/n)











































