Siapa sangka pepatah lama yang berbunyi "banyak jalan menuju Roma" ternyata tak hanya kiasan. Peta digital terbaru menunjukkan bahwa jaringan 'jalan raya' Kekaisaran Romawi kuno jauh lebih luas dari yang pernah dibayangkan para arkeolog sebelumnya.
Tim peneliti internasional baru saja merilis Itiner-e, sebuah proyek pemetaan digital terbuka (open-access) yang memperlihatkan peta paling rinci dari seluruh jaringan jalan Romawi pada puncak kejayaannya sekitar tahun 150 Masehi. Total panjangnya mencapai hampir 300.000 kilometer, dua kali lipat dari perkiraan sebelumnya.
Rasa Penasaran Ilmuwan Jadi Peta Raksasa
Penelitian ini dipimpin oleh Tom Brughmans, arkeolog dari Universitas Aarhus, Denmark. Ia mengaku ide itu muncul dari rasa frustrasi sederhana yang ia alami akibat tidak dapat mengunduh semua jalan yang ada di Romawi pada peta digital, sedangkan pepatah "banyak jalan menuju Roma" sering ia dengar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita semua tahu pepatah 'semua jalan menuju Roma'. Tapi mengapa saya tidak bisa mengunduh semua jalan itu? Di mana peta lengkapnya?" ujar Brughmans, dikutip dari New Scientist.
Bersama timnya, Brughmans menggabungkan data topografi, citra satelit, catatan sejarah, dan hasil penggalian arkeologi untuk membangun kembali jalur transportasi Kekaisaran Romawi. Mereka juga menelusuri rute paling realistis dari setiap ruas jalan dan memberikan peringkat keyakinan pada akurasi lokasinya berdasarkan kualitas sumber data.
Hasilnya, total jaringan jalan yang berhasil dipetakan mencapai 299.171 kilometer, meningkat sekitar 60% dari catatan dalam Atlas Barrington Dunia Yunani dan Romawi yang hanya mencatat sekitar 188.555 kilometer.
Bukan Sekadar Jalan Raya Besar
Selama dua abad penelitian, fokus para arkeolog lebih banyak pada jalan raya utama yang menghubungkan kota besar seperti Roma, Alexandria, atau Konstantinopel. Namun, proyek Itiner-e justru menyoroti jalan-jalan sekunder rute pedesaan kecil yang selama ini jarang diperhatikan.
Brughmans menjelaskan, "Sejarah penelitian selama 200 tahun tentang jalan-jalan Romawi sangat berfokus pada 'jalan raya' ini, dengan mengorbankan pengetahuan kita tentang jalan-jalan pedesaan yang tak bernama," katanya kepada Live Science, dikutip Kamis (13/11/2025).
Menurutnya, dari total jaringan baru yang dipetakan, sekitar 200.000 kilometer merupakan jalan sekunder, dan angka itu kemungkinan masih bisa bertambah seiring penelitian lanjutan.
Tidak Selalu Lurus, Tidak Selalu Baru
Salah satu mitos populer menyebut bahwa jalan Romawi selalu lurus. Namun, sejarawan dari Manchester Metropolitan University, Catherine Fletcher, menegaskan bahwa anggapan itu tidak sepenuhnya benar.
"Bangsa Romawi tidak selalu membangun jalan baru yang benar-benar lurus," ujar Fletcher.
"Di daerah pegunungan, mereka lebih sering menyesuaikan diri dengan rute alami yang sudah ada, karena membangun jalur lurus bisa sangat mahal dan tidak praktis," imbuhnya.
Selain itu, banyak jalan Romawi telah dibangun ulang berkali-kali sepanjang sejarah, membuat para arkeolog sulit melacak jalur aslinya. Faktanya, hanya 2,8% dari seluruh jaringan jalan yang bisa dipastikan posisinya secara tepat dalam radius 50 meter di pegunungan dan 200 meter di dataran.
Bagi Brughmans, peta digital ini bukan sekadar catatan arkeologi, melainkan pengubah permainan sejarah.
"Untuk pertama kalinya, kita bisa memahami bagaimana wabah, ledakan ekonomi, atau agama baru dapat menyebar secara kontinental dan membentuk kembali dunia," ujarnya.
Jalur transportasi yang terintegrasi memungkinkan:
- Penyebaran cepat wabah penyakit, seperti Wabah Antonine tahun 165 M yang menewaskan seperempat populasi kekaisaran,
- Penyebaran agama baru, seperti Kekristenan awal, serta
- Pertumbuhan ekonomi dan migrasi besar-besaran di seluruh Eropa dan Timur Dekat.
Dengan kata lain, jaringan jalan Romawi menjadi tulang punggung globalisasi kuno jalur vital yang memungkinkan ide, budaya, dan bahkan pandemi bergerak lintas benua.
Banyak yang Belum Terungkap
Meski hasilnya luar biasa, proyek Itiner-e masih memiliki banyak celah. Menurut arkeolog dari Universitas Binghamton, Jeffrey Becker, yang tidak terlibat dalam riset, masih ada potensi lebih lanjut.
"Beberapa bagian peta masih kosong, mungkin karena keterbatasan data atau sulitnya membedakan jenis jalan dalam catatan arkeologi," ucapnya.
Ke depan, Brughmans ingin mengajak peneliti lain mengkaji hal ini. Menurutnya, masih banyak jalan yang belum ditemukan.
"Tapi sekarang, kita punya peta yang bisa menunjukkan di mana kita harus mencari," tuturnya.
(faz/faz)











































