Bangkai Kapal Romawi Kuno Berusia 2 Ribu Tahun Diburu Fisikawan, Untuk Apa?

ADVERTISEMENT

Bangkai Kapal Romawi Kuno Berusia 2 Ribu Tahun Diburu Fisikawan, Untuk Apa?

Devita Savitri - detikEdu
Senin, 10 Nov 2025 20:30 WIB
Ratusan batu bata timbal ditemukan di kapal yang tenggelam antara 50 dan 80 SM.
Foto: CUORE Collaboration and LNGS/INFN/Ratusan batu bata timbal ditemukan di kapal yang tenggelam antara 50 dan 80 SM.
Jakarta -

Bangkai kapal Romawi Kuno berusia 2 ribu tahun ditemukan di lepas pantai Sardinia, Laut Mediterania, Italia pada 1988. Sumber pengetahuan masa lalu ini kemudian jadi perburuan para arkeolog dan fisikawan.

Salah satunya adalah fisikawan partikel dari Italy's Institute for Nuclear Physics (INFN), Ettore Fiorini. Pada dasarnya, ia tidak peduli dengan fisik kapal itu, melainkan muatannya.

Diketahui, kapal tersebut memiliki ratusan batangan timah yang masing-masing seberat 33 kilogram. Tak ingin memajangnya di museum, Fiorini ingin membangun observatorium bawah tanah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia meyakini bila petunjuk kuno ini memiliki peran penting dalam mengungkapkan hakikat alam semesta.

Manfaat Besar Timah Kuno

Timah kuno memiliki manfaat besar dalam eksperimen fisika yang sensitif karena sudah kehilangan radioaktivitasnya. Material yang masih memiliki radioaktivitas diketahui dapat mempersulit pengamatan.

ADVERTISEMENT

Salah satu contoh pengamatan fisika yang sensitif berhubungan dengan partikel elementer. Partikel elementer adalah blok penyusun terkecil yang bisa membentuk realitas.

Ketika penelitian ini dilakukan, lokasi eksperimen harus sepi sehingga fisikawan perlu membungkam segala kebisingan yang ada. Upaya yang biasa dilakukan adalah menempatkan detektor partikel jauh di dalam gua bawah tanah.

Langkah ini dinilai berguna untuk menghindari hujan "sinar kosmik". Sinar kosmik adalah partikel berenergi tinggi yang berasal dari luar angkasa.

Meskipun tidak berbahaya bagi manusia, sinar kosmik dapat mengganggu proses eksperimen para ilmuwan. Fisikawan INFN Paolo Gorla menyebut setiap detik kehidupan manusia dilalui oleh sebuah partikel, sehingga perlu tempat untuk menghalau partikel tersebut seperti bawah tanah.

"Pergi ke bawah tanah memberi kita semacam keheningan kosmik," tutur Gorla dikutip dari ABC News.

Detektor juga harus dilindungi dari suara radioaktif yang berasal dari dalam gua itu sendiri. Suara yang dimaksud seperti batu gunung hingga suara makanan yang disantap kala istirahat eksperimen.

Timah menjadi bahan yang paling cocok terhadap radioaktivitas ini karena bentuknya padat. Namun, timah yang digunakan tak bisa sembarangan.

Timah yang baru ditambang memiliki beberapa "gangguan" radioaktif tersendiri, karena secara alami bahan itu mengandung sejumlah kecil isotop timbal-210 yang tidak stabil. Isotop tersebut dapat melepaskan energi saat meluruh.

Peneliti menemukan timah bisa stabil dan tidak memiliki radioaktivitas setelah beberapa ratus tahun. Itulah sebabnya para fisikawan mencari timah yang ditambang pada zaman Romawi kuno menurut ahli metalurgi Kevin Laws dari Universitas New South Wales.

"Namun ada perdebatan bahwa dengan memanfaatkan timah dari sumber seperti bangkai kapal, kita menghancurkan benda-benda dan catatan bersejarah," kata sebut Laws.

Arkeolog Vs Fisikawan

Pada 2012, peneliti warisan budaya bawah air, Elena Perez-Alvaro diajak berdiskusi oleh seorang fisikawan usai memberikan materi di sebuah konferensi. Pembicaraan keduanya kala itu tentang penggunaan timah kuno untuk percobaan ilmiah.

Di beberapa kasus, timah kuno memang dikumpulkan secara etis dan resmi. Namun, di beberapa kasus lainnya timah tersebut dibeli secara ilegal dari perusahaan swasta dengan tidak mengikuti standar arkeologi.

Bangkai kapal merupakan ladang informasi untuk memahami masa lalu. Berbagai informasi dasar perlu diketahui, termasuk soal dari mana kapal itu berasal dan ke mana tujuannya.

Perez-Alvaro sempat memicu perdebatan sengit ketika ia menulis makalah yang membahas tentang dilema penggunaan artefak sejarah untuk eksperimen fisika. Hal ini dinilainya seperti perang antara mereka yang membela masa lalu dan masa depan.

Ia mengakui memang ada kasus-kasus penelitian yang dapat diajukan untuk menggunakan timah kuno. Namun, penggunaan itu baru bisa dilakukan setelah timah didokumentasikan dan dipulihkan dengan benar.

"Kita harus mempertimbangkan bahwa terkadang tidak ada gunanya memiliki 1.000 batangan logam di gudang museum," ujarnya.

Pencarian Materi Gelap

Alasan Fiorini sangat ingin mendapatkan timah Romawi yang tenggelam di bangkai kapal adalah untuk melindungi eksperimennya. Ia tentang mengerjakan studi tentang materi yang paling sulit dipahami, yakni materi gelap.

Materi gelap diperkirakan membentuk 85 persen dari total massa alam semesta kita. Materi gelap adalah zat tak kasat mata yang tidak berinteraksi dengan cahaya tapi bersinggungan dengan gravitasi.

Fiorini ingin membuktikan bila walaupun manusia tidak bisa melihat materi gelap, kita telah memiliki bukti terkait hal itu. Materi gelap mulai diperhatikan astronom pada 1930-an.

Hal ini bermula ketika ada anomali gravitasi yang menunjukkan bahwa massa di alam semesta lebih besar daripada yang terlihat. Astronom Swiss-Amerika Fritz Zwicky menyebutnya sebagai "dunkle materie" atau materi gelap.

Meski sudah diperbincangkan sejak 1930-an, pembahasan materi gelap di ranah penelitian baru terjadi pada 1970-an yang dibahas oleh Astronom Amerika Vera Rubin. Penelitian yang dilakukan Rubin berkaitan dengan pengamatan terhadap galaksi spiral.

Sejak saat itu, para fisikawan telah mencari cara untuk mendeteksi materi gelap secara langsung. Kendati demikian, hingga mereka menemukannya, hal ini masih bersifat hipotetis.




(det/faz)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads