Menurut Dosen di Aussie Ini, Matematika Bukan tentang Kecepatan Menjawab Soal

ADVERTISEMENT

Menurut Dosen di Aussie Ini, Matematika Bukan tentang Kecepatan Menjawab Soal

Siti Nur Salsabilah Silambona - detikEdu
Jumat, 14 Nov 2025 08:00 WIB
Ilustrasi angka dalam matematika
Ilustrasi matematika. Foto: Pixabay/an_photos
Jakarta -

Banyak anak menganggap matematika sebagai pelajaran tersulit di sekolah. Tak jarang, rasa takut membuat mereka menyerah sebelum benar-benar memahami pelajarannya. Padahal, matematika punya peran besar dalam membentuk peradaban dan masa depan teknologi dunia.

Lantas, bagaimana cara agar anak-anak tidak lagi menganggap matematika sebagai momok menakutkan?

Bagi Loretta Payne, matematika justru adalah sahabat terbaiknya. Kini, Payne menempuh program gelar ganda di bidang Teknik Sipil dan Desain Arsitektur di University of Sydney.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya selalu menyukai matematika," ujarnya.

"Matematika masuk akal bagi saya, dan saya menikmati kepuasan dalam memecahkan masalah," imbuhnya.

ADVERTISEMENT

Meski sempat ragu saat menjadi satu-satunya perempuan di kelas fisika SMA, ia tidak menyerah.

"Saya merasa aneh karena tidak punya teman di kelas itu, jadi saya sempat berhenti. Tapi saya akhirnya kembali dan terus berjuang," kenangnya.

Payne pun menjadi satu-satunya gadis di angkatannya yang mengambil gelar STEM (science, technology, engineering, and mathematics) di Universitas Sydney.

PR Matematika Jadi Momok Menakutkan

Data di Australia menunjukkan, pada tingkat sekolah dasar, siswa perempuan justru lebih unggul dalam matematika dibanding siswa laki-laki. Namun saat menginjak SMA, banyak siswi mulai menghindari pelajaran ini.

Profesor Eddie Woo, salah satu pendidik matematika paling dikenal di Australia, menyebut kondisi ini sebagai krisis budaya.

"Kita punya masalah PR untuk matematika," katanya.

"Banyak yang menganggap matematika hanya untuk tipe orang tertentu biasanya laki-laki dengan otak matematika. Kalau kamu nggak cocok dengan pola itu, kamu tersingkir," ujarnya.

Menurut Eddie, sistem belajar yang terlalu hirarkis membuat siswa mudah tertinggal. Sekali ketinggalan satu konsep, mereka akan kesulitan mengejar.

Ia juga menyoroti minimnya guru di daerah yang mampu mengajarkan matematika dengan cara menarik, sehingga banyak siswa cepat bosan.

Lebih lanjut, Eddie menemukan siswi cenderung memiliki rasa percaya diri yang lebih rendah dibanding siswa laki-laki, meski kemampuan mereka sama.

"Banyak anak perempuan pintar yang merasa dirinya nggak cukup bagus di matematika," katanya.

Matematika Bukan Tentang Kecepatan Menjawab Soal

Menurut dosen pendidikan matematika di University of Sydney, Dr Bronwyn Reid O'Connor kesenjangan kepercayaan diri itu dimulai sejak dini. Kadang, guru dan orang tua tanpa sadar menanamkan stereotip bahwa anak laki-laki lebih cocok untuk eksakta, sementara anak perempuan lebih unggul di bahasa.

"Matematika bukan tentang kecepatan menjawab soal. Ini tentang penalaran, kolaborasi, dan kegigihan," ujarnya.

Bronwyn menyayangkan sistem belajar yang hanya menilai dari kecepatan dan ketepatan jawaban. Ia mendorong guru untuk menciptakan ruang kelas yang ramah kesalahan sebagai tempat murid bisa belajar tanpa takut salah.

Menurut Bronwyn, perubahan besar harus dimulai dari dasar yaitu membekali guru SD agar percaya diri mengajar matematika dengan cara yang menyenangkan. Penilaian juga sebaiknya tidak hanya berfokus pada kecepatan menghitung, tapi pada pemahaman yang mendalam dan kemampuan berpikir logis.

Bronwyn setuju untuk menunjukkan kepada siswa terutama siswi, ke mana matematika dapat membawa mereka, baik itu arsitektur; pemrograman; atau pertanian; matematika selalu ada di setiap masa depan.

Guru dan Dukungan Sosial Jadi Kunci

Bagi Payne, peran guru sangat penting dalam menumbuhkan kepercayaan diri belajar matematika.

"Dosen saya sekarang luar biasa. Beliau peduli pada kesuksesan mahasiswanya, dan itu membuat saya jauh lebih percaya diri dalam matematika," ujarnya.

Selain itu, Payne juga merasa terbantu karena bergabung dalam Women in Engineering Society. Komunitas ini membuatnya merasa tidak sendirian sebagai perempuan di dunia STEM.

"Melihat ada perempuan lain di bidang ini membuat saya yakin kalau saya juga bisa," katanya.

Penulis adalah peserta program MagangHub Kemnaker di detikcom.




(nah/nah)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads