Pemerintah sedang mempertimbangkan pembatasan game online setelah terjadinya ledakan di SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara pada Jumat (7/10). Hal ini berkaitan dengan penggunaan senjata dalam game online seperti PUBG.
"Beliau (Presiden Prabowo) tadi menyampaikan bahwa, kita juga masih harus berpikir untuk membatasi dan mencoba bagaimana mencari jalan keluar terhadap pengaruh pengaruh dari game online," jelas Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi setelah rapat terbatas dengan Presiden Prabowo di Kertanegara, Jakarta Selatan pada Minggu (9/11/2025), dikutip dari detiknews.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mensesneg menerangkan game online yang dimaksud adalah yang bernuansa perang menggunakan senjata api (senpi). Game semacam ini ditemukan dalam kategori first person shooter (FPS) ataupun battle royal seperti PUBG.
"Misalnya contoh, PUBG. Itu kan di situ, kita mungkin berpikirnya ada pembatasan-pembatasan ya, di situ kan jenis-jenis senjata, juga mudah sekali untuk dipelajari, lebih berbahaya lagi," terang Mensesneg.
Menurutnya, pemain dalam game PUBG dapat merasakan sensasi menembak secara tidak langsung. Terlebih objek yang dituju adalah pemain lain.
"Ini kan secara psikologis, terbiasa yang melakukan yang namanya kekerasan itu sebagai sesuatu yang mungkin menjadi biasa saja," jelasnya.
Rencana pembatasan game bertema peperangan ini kemudian memunculkan berbagai reaksi publik tentang dampak game. Salah satunya datang dari Lukman Hakim selaku Dosen Informatika Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya).
Tanggapan Pakar Soal Wacana Pembatasan Game PUBG
Lukman menilai jika langkah pemerintah menunjukkan niat baik untuk melindungi generasi muda dari pengaruh negatif hiburan digital. Namun, ia mengingatkan agar kebijakan tersebut tidak diambil secara tergesa-gesa.
"Langkah ini harus dilaksanakan dengan hati-hati, berbasis bukti, dan seimbang agar tidak sekadar menjadi respons emosional, tetapi menjadi bagian dari strategi pembinaan digital yang integratif," jelas Lukman dalam laman UM Surabaya, Senin (10/11/2025)
Menurutnya, game online sepertiPUBG kerap menjadi bentuk pelarian psikologis bagi remaja yang mengalami tekanan emosional atau sosial. Menyalahkan game sebagai akar masalah berisiko menutup pandangan terhadap isu yang lebih mendasar yaknilemahnya sistem deteksi dini terhadap stres, depresi, dan kekerasan sosial di sekolah.
3 Rekomendasi Untuk Pemerintah
Lukman menegaskan jika pembatasan game berbasis asumsi dapat menimbulkan kesan represif terhadap ruang ekspresi digital remaja. Ia menilai, pemerintah perlu memusatkan perhatian pada langkah-langkah yang lebih konstruktif dan jangka panjang.
Lukman memberikans rekomendasi sebagai berikut:
1. Perkuat Program Kesehatan Mental Sekolah
Sekolah perlu menyediakan layanan konseling profesional, sistem dukungan sebaya (peer-support system), serta pelatihan bagi guru untuk mengenali tanda-tanda depresi atau isolasi sosial siswa.
2. Membangun Literasi Digital
Satuan pendidikan juga harus mengajarkan siswa berpikir kritis, memahami konteks kekerasan di media, dan menyeimbangkan waktu bermain dengan aktivitas lain.
3. Melibatkan Riset Akademik dalam Kebijakan Publik
Kebijakan publik ini harus berbasis data empiris dari penelitian psikologi, pendidikan, dan sosiologi anak muda.
"Bukan sekadar reaksi terhadap peristiwa tragis," ujarnya.
Lukman menjelaskan jika game bisa berperan sebagai bentuk eskapisme atau pelarian sementara dari tekanan kehidupan nyata. Oleh karena itu, pelarangan total tanpa memahami konteks sosial dan psikologis pemain bisa bersifat kontraproduktif.
"Kunci utamanya adalah bagaimana memastikan pelajar tetap dapat menikmati hiburan digital secara sehat, namun sekaligus terlindungi dan memiliki resiliensi terhadap potensi risiko di dunia nyata," pungkasnya.
(nir/nwk)











































