Mengapa Orang Bisa Sulit Membuang Barang Tak Terpakai? Ini Kata Psikolog

ADVERTISEMENT

Mengapa Orang Bisa Sulit Membuang Barang Tak Terpakai? Ini Kata Psikolog

Devita Savitri - detikEdu
Senin, 13 Okt 2025 11:00 WIB
A messy basement / storage room with lots of things.
Membuang dan merapihkan barang-barang terkadang menjadi suatu kegiatan yang sangat sulit dilakukan. Psikolog bilang begini. Foto: Getty Images/iStockphoto/Marcus Lindstrom
Jakarta -

Menyingkirkan barang-barang yang tidak lagi kita butuhkan bisa menjadi hal yang sulit bagi siapa pun. Sering kali, hal ini terjadi karena barang tersebut memiliki banyak makna dan kenangan.

Profesor Psikologi dari Macquarie University Melissa Norberg menyebut barang kerap mengingatkan seseorang pada suatu momen. Ketika sedang berberes, seseorang bisa terdistraksi karena kenangan yang tersimpan dalam barang tersebut.

"Anda memeriksa barang-barang Anda, lalu Anda berpikir, 'Oh, saya ingat kapan saya membeli ini, atau saya ingat kapan saya dulu memakai ini, atau ini membangkitkan kenangan saya. Saya tidak ingin membuangnya, karena saya menginginkan kenangan itu'," tutur Norberg, melansir ABC News.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Terjebak Kenangan?

Lantaran sudah teralihkan, seseorang bisa terjerat dalam kenangan dan lupa bahwa seharusnya ia merapikannya. Akhirnya, barang tersebut tidak jadi disingkirkan dan tetap menumpuk.

ADVERTISEMENT

Selain kenangan, Norberg menyebut kewalahan juga jadi faktor mengapa seseorang sulit membuang barang yang sudah lama tidak dipakai. Ia merasa tidak tahu harus mulai dari mana dan memilih untuk menyimpannya.

"Mungkin ada begitu banyak hal yang membuat Anda kewalahan dan Anda tidak tahu harus mulai dari mana," sambungnya.

Berberes Dapat Timbulkan Kebahagiaan?

Berberes memang hal yang sangat sulit dilakukan pada awalnya. Namun, bagi sebagian orang, berberes mungkin dapat membantu untuk merasa rileks.

Dengan mengaturnya isi ruangan, seseorang akan mampu menemukan barang yang dibutuhkan lebih mudah dan memiliki ruang hidup yang layak.

Profesor Psikologi University of New South Wales (UNSW) Sydney, Jessica Grisham, menyebut bahwa ketika seseorang tengah merasa kondisi rumahnya berantakan, berberes bisa menjadi cara untuk merasa lega.

Jangan Sekadar Ikut Tren Berberes

Beberapa waktu lalu, ada tren media sosial soal beberes yang terkenal. Tren itu disebut dengan metode Marie Kondo. Dalam tren ini, orang didorong hidup minimalis dan menyimpan barang-barang yang hanya memicu kebahagiaan.

Meskipun baik, Grisham menilai ada sisi ekstrem terkait hal itu. Sisi ekstrem yang dimaksudnya adalah mengejar kesempurnaan, yang dinilai bisa berbahaya.

"Ketika media sosial menyajikan gagasan ini, atau budaya pop secara umum, bahwa kita semua perlu menjalani gaya hidup minimalis ekstrem dan memiliki alur efisiensi yang sempurna, secara paradoks hal itu justru menciptakan sedikit lebih banyak tekanan untuk benar-benar sempurna dalam minimalis kita, dan untuk mencapai gaya hidup yang benar-benar bebas dari kekacauan," bebernya.

Bukan soal Rumah Paling Bersih dan Paling Rapi

Grisham menyebut ada anggapan jika rumah benar-benar bersih dan rapi, hal itu menandakan orang tersebut baik. Namun, saat hal itu tidak tercapai, seseorang akan merasa rendah diri dan merasa gagal. Pandangan ini menurutnya harus ditinggalkan.

Selaras, Norberg mengatakan tingkat keberantakan rumah pada dasarnya sesuai preferensi. Sementara itu, bisa jadi rumah yang berantakan merupakan tanda sesuatu hal lebih dalam sedang terjadi.

Ia mencontohkan, keadaan berantakan bisa terjadi ketika seseorang mengalami masalah kesehatan mental, seperti depresi atau penyalahgunaan zat. Norberg, orang yang mengalaminya perlu mendapat bantuan, khususnya saat kondisi berantakan berisiko keselamatan atau kesehatan.

Bantuan juga perlu diberikan ketika seseorang tidak dapat menggunakan ruangan rumah sebagai mestinya. Contohnya, ruang tamu biasanya digunakan untuk bersantai, tetapi karena terlalu banyak barang, maka kegiatan itu tidak bisa dilakukan.

Ia menjelaskan, orang dengan kondisi rumah banyak timbunan barang bisa jadi mengalami hoarding disorder atau gangguan penimbunan. Mereka bisa menimbun barang-barang hingga sebuah ruangan, koridor, atau rumah tidak bisa dipakai dengan leluasa sebagaimana mestinya.

"Mungkin memenuhi kriteria gangguan penimbunan," ujar Norberg.

Gangguan penimbunan terjadi ketika seseorang mengalami tekanan emosional yang hebat dalam melepaskan suatu benda. Untuk membantu mereka yang mengalami hal ini, perlu orang-orang yang mampu mendukung, meringankan situasi, dan menghargai bila ada kemajuan.

"Kita mungkin tertawa bersama tentang hal-hal konyol yang tersimpan dan itu bisa membantu membuat pengalaman itu menyenangkan, sekaligus memisahkan kebutuhan psikologis (terhadap barang itu) dari nilai fungsionalnya," sambungnya.

Tips Berberes Ala Profesor Psikologi

Jika detikers ingin memulai berberes, Norberg dan Grisham memberikan tips yang bisa diterapkan, yakni:

  1. Menyisihkan waktu khusus agar fokus.
  2. Mengajak teman untuk membantu dan memberikan pendapat objektif tentang barang apa saja yang harus disimpai dan dibuang.
  3. Simpan barang yang masih bisa disimpan tanpa membeli hal lain untuk menjadi wadahnya.
  4. Pertimbangkan nilai-nilai pribadi dalam proses pengambilan keputusan tentang barang yang disimpan dan dibuang.
  5. Simpan barang yang bisa dipajang sehingga menjadi pengingat visual kenangan.

"Jika sesuatu benar-benar penting bagi Anda, pajanglah di dinding sehingga Anda dapat melihatnya setiap hari," tandasnya.




(det/twu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads