Alih-alih Deactivate Medsos, Peneliti Sarankan Ini untuk Anak Muda

ADVERTISEMENT

Alih-alih Deactivate Medsos, Peneliti Sarankan Ini untuk Anak Muda

Novia Aisyah - detikEdu
Senin, 13 Okt 2025 10:00 WIB
9 Cara Mengatasi Kecanduan Gadget pada Anak, Remaja, dan Orang Dewasa
Penelitian ini mengusulkan cara bermain medsos yang lebih realistis ketimbang berhenti main medsos sepenuhnya. Foto: freepik/Freepik
Jakarta -

Alih-alih berhenti menggunakan media sosial, sebuah studi menyarankan anak muda untuk menggunakan media sosial dengan lebih sadar.

Hasil penelitian tersebut diterbitkan dalam Journal of Experimental Psychology: General dengan judul "Logging out or leaning in? Social media strategies for enhancing well-being".

Para peneliti mengkaji efek berhenti menggunakan media sosial dibandingkan menggunakannya dengan lebih intensional.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hasil penelitian menunjukkan pengguna yang mengelola interaksi daring mereka dengan cermat, serta mereka yang sepenuhnya menghindari media sosial, merasakan manfaat kesehatan mental terutama dalam mengurangi gejala kecemasan, depresi, dan kesepian.

ADVERTISEMENT

Jangan Perlakukan Medsos sebagai 'Ya atau Tidak Sama Sekali'

Dengan penggunaan media sosial yang hampir universal di kalangan dewasa muda, terutama mereka yang berusia 17-29 tahun, kekhawatiran tentang dampaknya terhadap kesehatan mental memang semakin meningkat.

"Banyak yang membicarakan betapa merusaknya media sosial, tetapi tim kami ingin melihat apakah ini gambaran lengkapnya atau apakah cara orang berinteraksi dengan media sosial dapat membuat perbedaan," kata Dr Mikami, salah satu peneliti, dikutip dari Science Daily pada Minggu (12/10/2025).

Alih-alih memperlakukan media sosial sebagai pilihan serba ada atau tidak sama sekali, studi ini mengeksplorasi apakah membantu dewasa muda mempelajari teknik interaksi yang lebih cerdas dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.

Dalam studi tersebut, 393 dewasa muda Kanada terlibat sebagai partisipan selama enam minggu. Para partisipan memiliki beberapa gejala kesehatan mental dan kekhawatiran tentang dampak media sosial terhadap kesehatan mental mereka.

Mereka dibagi menjadi tiga kelompok sebagai berikut:

  • Kelompok kontrol, yang melanjutkan rutinitas mereka seperti biasa.
  • Kelompok abstinensi, yang diminta untuk berhenti menggunakan media sosial sepenuhnya.
  • Kelompok "tutorial", yang dilatih dalam penggunaan media sosial secara intensional.

Tutorial riset ini memandu peserta dalam membina koneksi daring yang bermakna, membatasi interaksi yang mendorong perbandingan diri, dan dengan cermat memilih siapa yang mereka ikuti (follow).

Jadi Lebih Jarang Membanding-bandingkan Diri

Baik kelompok abstinensi maupun tutorial, mengurangi penggunaan media sosial mereka. Rupanya, mereka jadi lebih jarang membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain; yang merupakan pemicu umum kecemasan dan harga diri yang rendah.

Waspada FOMO dan Kesepian

Sementara itu, meskipun kelompok tutorial tidak mengurangi penggunaan media sosial sebanyak kelompok abstinensi, mereka melaporkan peningkatan yang signifikan dalam hal kesepian dan rasa takut akan ketinggalan (fear of missing out/FOMO).

Sebagai perbandingan, mereka yang abstinensi sepenuhnya dari media sosial lebih berhasil mengurangi gejala depresi dan kecemasan. Di sisi lain, mereka yang berhenti sepenuhnya main medsos ini juga tidak melaporkan peningkatan perbaikan dalam hal kesepian.

"Menghentikan penggunaan media sosial dapat mengurangi beberapa tekanan yang dirasakan dewasa muda saat menampilkan citra diri mereka yang dikurasi secara daring. Namun, menghentikan penggunaan media sosial juga dapat menghilangkan koneksi sosial dewasa muda dengan teman dan keluarga, yang menyebabkan perasaan terisolasi," kata Dr Mikami.

Cara Bersosialisasi Lebih Sehat adalah..

Mikami, bersama mahasiswa pascasarjana Adri Khalis dan Vasileia Karasavva, menggunakan pendekatan yang menekankan kualitas daripada kuantitas dalam interaksi media sosial dalam kelompok tutorial. Dengan menonaktifkan atau berhenti mengikuti akun pemicu rasa iri atau perbandingan diri negatif dan memprioritaskan pertemanan dekat, peserta kelompok tutorial membangun lingkungan daring yang lebih sehat.

Alih-alih scrolling medsos secara pasif, mereka didorong untuk berinteraksi secara aktif dengan teman-teman melalui komentar atau pesan langsung. Perilaku ini cenderung memperdalam koneksi yang bermakna sekaligus membantu pengguna merasa lebih terdukung secara sosial.

Bagi Dr Mikami, pendekatan yang seimbang ini mungkin merupakan alternatif realistis.

"Media sosial akan tetap ada," ujarnya.

"Dan bagi banyak orang, berhenti bukanlah pilihan yang realistis. Namun dengan panduan yang tepat, dewasa muda dapat menciptakan pengalaman yang lebih positif, menggunakan media sosial untuk mendukung kesehatan mental mereka, alih-alih merusaknya," jelasnya.

Mikami yakin temuan ini dapat memberikan wawasan berharga bagi program kesehatan mental dan sekolah. Ia membayangkan lokakarya dan sesi edukasi di masa mendatang memungkinkan para dewasa muda belajar menggunakan media sosial sebagai alat untuk memperkuat hubungan mereka, alih-alih sebagai sumber perbandingan dan stres.

Pendekatan ini, menurutnya, dapat memutus siklus berhenti menggunakan media sosial hanya untuk kembali lagi nanti.

Penelitian ini menekankan bahwa kesejahteraan mental kaum muda berkaitan erat dengan bagaimana mereka berinteraksi. Dengan menawarkan cara alternatif untuk berinteraksi daring, tim Dr Mikami menunjukkan kondisi mental yang sehat dan positif dapat dicapai tanpa mengorbankan konektivitas sosial yang disediakan oleh platform.




(nah/twu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads