Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap musim hujan 2025/2026 datang lebih cepat dari biasanya. Di beberapa wilayah, musim hujan sudah mulai pada Agustus 2025.
Musim hujan akan semakin meluas pada September hingga November mendatang. Pada musim hujan seperti ini, risiko bencana hidrometereologi dikhawatirkan terjadi seperti banjir, longsor, hingga angin kencang.
Terkait hal tersebut, pakar hidrologi sekaligus dosen Fakultas Kehutanan UGM, Dr Ir Hatma Suryatmojo, S Hut, MSi, IPU menekankan pentingnya kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah daerah. Pemda bersama masyarakat perlu melakukan mitigasi struktural hingga non-struktural.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di daerah rawan longsor, pembangunan terasering dan penahan tanah perlu dilakukan. Selain itu, solusi berbasis alam seperti reboisasi hulu DAS dinilai penting untuk jangka panjang," ujarnya dikutip dari laman UGM, Rabu (17/9/2025).
Musim Hujan Maju, Risiko Banjir dan Longsor Meningkat
Hatma menjelaskan, datangnya musim hujan lebih awal dipengaruhi oleh fenomena El Niño-Southern Oscillation (ENSO) netral pada Agustus 2025 lalu. Selain itu, Indian Ocean Dipole (IOD) negatif turut membuat Samudra Hindia menyuplai lebih banyak uap air ke Indonesia bagian barat.
Ditambah lagi, suhu muka laut yang lebih hangat sekitar 0,42°C di atas rata-rata memicu pembentukan awan hujan lebih intens. Kemudian, perubahan iklim global semakin memperkuat intensitas hujan sekaligus membuat pola musim sulit diprediksi.
Data BMKG menunjukkan sekitar 42% wilayah Indonesia mengalami awal musim hujan yang lebih maju dari biasanya. Oleh karena itu, Hatma mengingatkan bencana hidrometereologi bisa jadi meningkat.
"Secara alami, hutan dan vegetasi menyerap air hujan dan mengurangi erosi, namun jika tutupan hutan berkurang, air hujan langsung terbuang sebagai aliran permukaan," jelasnya.
Mitigasi, Teknologi, dan Edukasi Jadi Kunci
Menurut Hatma, langkah mitigasi bisa berupa percepatan pembangunan infrastruktur pengendali banjir. Misalnya dengan membuat kolam retensi, normalisasi sungai, hingga perbaikan drainase perkotaan.
Untuk daerah-daerah rawan longsor, terasering dan dinding penahan tanah perlu dibangun sebagai penahan air hujan. Selain itu, reboisasi di hulu daerah aliran sungai (DAS) harus diprioritaskan untuk jangka panjang.
Selain mitigasi, Hatma juga menyoroti pentingnya teknologi dan kolaborasi lintas sektor. Menurutnya, penggunaan kecerdasan buatan (AI) oleh BMKG untuk meningkatkan akurasi prakiraan musim hingga level kabupaten merupakan langkah positif.
Kemudian, peta kerentanan berbasis Geographic Information System (GIS) juga disebut Hatma bisa dimanfaatkan karena cukup efektif membantu pemerintah daerah mengenali titik rawan bencana.
Sembunyikan kutipan teks
"Dengan kolaborasi yang kuat dan kesadaran masyarakat yang tinggi, diharapkan dampak bencana hidrometeorologi dapat diminimalkan," tuturnya.
Hatma berpesan kepada pemerintah untuk memperkuat regulasi lingkungan, tata ruang, dan investasi infrastuktur hijau. Hal itu penting karena tingkat edukasi masyarakat soal kesiapsiagaan bencana masih kurang.
"Masyarakat perlu memahami bahwa pola iklim kini berbeda dibanding dulu, sehingga kesiapan mental dan sikap adaptif sangat penting. Edukasi perubahan iklim harus digencarkan, mulai dari sekolah hingga kelompok tani, agar publik mengerti langkah apa yang harus diambil ketika tanda-tanda cuaca ekstrem muncul," kata Hatma.
(cyu/nwk)